Abaikan MK karena Tidak Peduli Pemilu Jurdil
Abaikan MK karena Tidak Peduli Pemilu Jurdil

Abaikan MK karena Tidak Peduli Pemilu Jurdil

Banyaknya bukti bukanlah menjadi faktor kunci untuk memenangkan gugatan, Tafsir konstitusi di MK terlalu hebat



Oleh: Radhar Tribaskoro, Koordinator Forum Aktivis Bandung

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa (1) banyaknya bukti bukan faktor yang menentukan dalam memenangkan gugatan, dan (2) yang dibutuhkan adalah bukti yang relevan (dengan penambahan/pengurangan suara) dan secara signifikan bisa mengubah hasil pemilu.

Terakhir (3) Hamdan Zoelva menekankan bahwa selisih suara yang besar adalah kendala yang besar untuk memenangkan gugatan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ( MK) Hamdan Zoelva mengatakan, dalam menggugat perkara hasil pemilu di MK, banyaknya bukti bukanlah menjadi faktor kunci untuk memenangkan gugatan, melainkan relevansi dan signifikansi bukti yang mampu mengubah hasil pemilu.



"Menang atau kalah itu bukan banyak-banyakan bukti, melainkan buktinya itu relevan atau enggak. Mau berapa banyak bukti pun kalau enggak relevan yang enggak akan dibaca," ujar Hamdan dalam diskusi bertajuk "Tantangan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu Serentak Tahun 2019" di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2019).  (Hamdan Zoelva: Banyaknya Bukti Kecurangan Bukan Faktor Menang di MK)

Pandangan Hamdan Zoelva itu mengandung arti bahwa semua bukti-bukti kecurangan perihal politik uang, pengerahan aparat negara, penggelembungan DPT, ketidak-netralan polisi dan PNS, manipulasi situng dsb, tidak penting menurut wawasan para hakim MK.

Mereka tidak mau membaca, kata Hamdan Zoelva, bila bukti-bukti yang diajukan tidak berhubungan langsung dengan jumlah suara. Betapapun banyaknya bukti-bukti itu.

Dengan kata lain, MK tidak peduli kepada asas pemilu yang jujur dan adil. MK tidak mau tahu bahwa penyelenggara pemilu yang tidak jujur dan tidak adil menciptakan kondisi dan situasi yang merugikan salah satu pihak. Mereka beranggapan bahwa kejujuran dan keadilan dalam pemilu sama sekali bukan urusan pengadilan MK.

Pengadilan kok tidak peduli kepada keadilan ?

Secara aneh dan tanpa alasan logis MK membatasi peranannya dalam sengketa pemilu pada aspek hitung suara saja. MK hanya memperhitungkan bukti-bukti yang berkaitan langsung dengan suara. Kalau anda bisa membuktikan bahwa KPPS telah mencuri 100 suara anda, baru MK tergerak untuk mengembalikan 100 suara itu.

Nah, disinilah muncul kendala yang luar biasa bagi orang yang mau berperkara di MK. MK hanya menghitung suara. Kalau anda kalah 9.000.000 suara, dan menurut anda suara anda dicuri 100 per TPS, maka anda harus menghadirkan 90.000 anggota KPPS yang mau bersaksi atas pencurian itu. MK tidak akan memproses gugatan anda kalau anda cuma bisa menghadirkan 89.999 saksi.

Jadi sekalipun anda memiliki 89.999 saksi yang membuktikan bahwa anda telah dicurangi, MK akan tetap memenangkan lawan anda.

Absurd tidak ?

Tetapi itulah persisnya apa yang dimaksud oleh Hamdan Zoelva ketika mengatakan selisih yang besar akan menjadi hambatan yang besar bagi Prabowo.

Sejak wawasan MK tersebut ditegaskan tahun 2014, di lingkungan masyarakat politik telah lama berkembang pemahaman bahwa “Bila ingin menang pemilu maka curanglah. Bila curang, curanglah sehebat mungkin untuk menciptakan selisih suara sebanyak mungkin. Dengan demikian lawan sulit mengumpulkan bukti. Dan MK pasti akan memenangkan Anda.”

Maka jadilah pemilu 2019 ini sebagai pemilu tercurang dalam sejarah politik Indonesia. Terbrutal.

Untuk rekan-rekan Tim Hukum BPN Prabowo Sandi, opsi menggugat ke MK sebaiknya disingkirkan saja. Tafsir konstitusi di sana terlalu hebat, tidak ada gunanya berperkara di pengadilan yang hadir bukan untuk keadilan.

 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.