Oleh: Asyari Usman, Wartawan Senior.
Salah satu pertanyaan kunci yang tidak bisa dijawab oleh kubu 01 adalah: kalau Jokowi diperkirakan oleh belasan penyelenggara survey akan menang, mengapa harus sibuk melakukan berbagai tindakan yang sangat pantas diduga untuk tujuan curang? Yaitu, mencurangi perolehan suara Prabowo? Pertanyaan ini berseliweran di medsos. Pertanyaan yang sangat valid dan perlu dijawab.
Sebelum kita jawab, kita lihat dulu bahwa di dalam pilpres 2019 ini ada tiga tahap kecurangan. Pertama, kecurangan dalam kampanye (campaign period). Kedua, kecurangan pada waktu penyelenggaraan pemungutan suara (election day). Ketiga, kecurangan dalam penghitungan suara (vote counting).
Pertama, kecurangan dalam kampanye (campaign period) adalah penyaalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi dalam memobilisasi massa. Baik ketika berlangsung silaturahmi (prakampanye), maupun pada masa kampanye terbuka.
Termasuk yang disebut curang adalah pengerahan hampir semua instansi dan lembaga negara untuk memenangkan Jokowi. Seperti misalnya pengerahan kepolisian, kementerian dalam negeri, kementerian BUMN, dlsb.
Selain itu, kecurangan dalam kampanye termasuk juga mengerahkan para guru, pegawai negeri, dan pegawai BUMN untuk menghadiri kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin.
Patut diduga, penyalahguaan kekuasaan dilakukan secara masif ketika dalam setahun belakangan ini BPN (Badan Pertanahan Nasional) diperintahkan menerbitkan sertifikat tanah gratis dalam jumlaah jutaan persil. Jokowi sendiri yang membagi-bagikannya kepada masyarakat. Tidakkah ini bisa disebut sebagai bagian dari upaya untuk memberikan keuntungan politik bagi Jokowi?
Hampir mirip, dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang berindikasi kampanye adalah penyerahan dokumen listrik gratis kepada sejumlah warga.
Kedua, kecurangan pada waktu penyelenggaraan pemilu (election day) termasuk antara lain adalah coblos illegal di luar negeri (ratusan ribu lembar di Malaysia); saksi dari capres 02 tak dibolehkan masuk.
Kemudian, banyak kasus kertas suara habis, waktu mencoblos sudah lewat, dlsb. Terus, ada ‘serangan fajar’ atau tebar duit (ingat kasus satu juta amplop) plus laporan masyarakat bahwa sehari-dua hari sebelum 17 April mereka melihat ‘satuan khusus’ yang bergerak membagi-bagikan bingkisan yang diduga berat berupa uang tunai kepada kelompok warga tertentu.
Lantas, ada KPPS yang memihak; KPPS yang mencoblos sendiri surat suara dan memasukkannya ke kotak suara, dll.
Ketiga, kecurangan dalam penghitungan suara (vote counting) terbagi dua: (a)kecurangan eksternal KPU, dan (b)kecurangan internal KPU. Kecurangan eksternal termasuklah ‘quick count’ (hitungan cepat, QC) yang diselenggarakan oleh stasiun-stasiun televisi pro-Jokowi yang sangat diragukan keakuratannya; malah sarat dengan tujuan penggiringan opini. QC ini berbasis angka-angka ‘settingan’ yang diproduksi oleh sekian banyak lembaga survey bayaran.
Sedangkan kecurangan internal KPU sudah sangat jelas terekam oleh masyarakat dalam 6-7 hari ini. Ada yang disebut salah input (salah ketik, ‘human error’) dengan kesalahan yang fastastik. Misalnya, suara untuk 01 seharusnya 46 dan untuk 02 seharusnya 141, bisa salah ketika menjadi 146 untuk 01 dan 23 untuk 02. Salah ketik seperti ini tertangkap berkali-kali. Berulang, dan berulang lagi. Selalu salah ketik yang merugikan suara 02.
Kecurangan internal KPU lainnya termasuk rekap kecamatan yang dilakukan secara tertutup. Wakil tertentu dilarang masuk. Ada lagi kasus kotak suara yang dibawa oleh sejumlah orang, kemudian disimpan di sebuah gudang perusahaan (terjadi di Percut, tak jauh dari Medan). Kemudian, ada orang-orang yang mencoba ‘menggelapkan’ formulir C-1.
Tidak ada dugaan lain terhadap kecurangan ini kecuali bertujuan untuk mencuri suara Prabowo. Sebab, sejauh ini tidak ada orang 02 yang mencoba mencuri C-1.
Kecurangan tahap ketiga ini sangat krusial sekaligus sangat berbahaya. Krusial, karena sejauh ini kecurangan itu, tak terbantahkan, bertujuan untuk membalik kemenangan Prabowo menjadi kekalahan. Berbahaya, karena kecurangan ini pasti akan menimbulkan protes keras dari pihak yang dicurangi.
Nah, sekarang mari kita kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini: untuk apa melakukan kecurangan kalau sudah yakin menang? Mengapa kasak-kusuk dengan ‘salah ketik’ di KPU, berburu C-1, atau menyimpan kotak suara di tempat yang bukan berada di bawah kekuasaan KPU?
Memang sangat kontradiktif. Tak masuk akal! Tak masuk akal orang yang digadang-gadang akan menang tetapi tertangkap melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga untuk tujuan mencurangi perolehan suara Prabowo.
Mengapa harus curang? Ayo silakan dijawab!
Bagi saya, jawabannya singkat saja: karena capres 02 menang telak sesuai pernyataan yang disampaikan oleh Prabowo Subianto sehari setelah pilpres.
Sebelum hari pilpres, semua orang bisa memprediksikan kemenangan telak Prabowo-Sandi di pilpres 2019. Setelah pilpres, mereka melihat prediksi itu berubah menjadi kenyataan. Tetapi lawan tanding Prabowo enggan mengakui kemenangan paslonpres 02 itu. Mereka bertekad bulat untuk, diduga kuat, merampas kemenangan Prabowo.
Inilah yang terjadi. Dan, ini pula yang seharusnya tidak terjadi. Sekarang, situasi yang ada bisa berlanjut ke “stand-off”. Sangat riskan sekali. Taruhannya sangat tinggi. (edt)