Oleh : Among Kurnia Ebo, Pengamat Pembangunan
Membangun infrastruktur itu memang gampang. Apalagi tanpa perencanaan yang matang dan studi kelayakan yang akurat. Hajar dulu, yang penting pencitraan dan resiko pikir belakangan. Itu yang terjadi pada bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Bandara terbesar kedua di Indonesia yang berdiri di atas lahan sepuluh ribu hektar lebih.
Bandara yang dibangun dengan dasar pertimbangan politik pencitraan dan semangat utang saja. Bukan pertimbangan sosial ekonomi. Bandara yang dibangun di tengah areal persawahan yang sangat jauh dari pusat industri dan perdagangan. Dan tentu saja minim fasilitas penunjang seperti hotel, pusat perbelanjaan, sarana transportasi publik dan sebagainya.
Akibatnya sejak diresmikan oleh rejim Jokowi, bandara ini seperti bandara mati suri. Tak ada penumpang yang datang karena lokasi bandara yang jauh dari mana-mana. Dari Bekasi maupun Bandung masih 100 km lebih jaraknya. Kalau macet harus ditempuh dalam 3-4 jam perjalanan.
Berarti penumpang harus berangkat 6-7 jam sebelum penerbangan pesawat. Calon penumpang pasti mikir dua kali. Ini tidak efisien secara waktu maupun finansial. Kelamaan dan kecapekan di jalan sebelum proses check in.
Bandara yang supermegah ini hanya diisi oleh satu rute penerbangan yang masih bertahan. Itu pun okupasi penumpang hanya 30% saja. Hanya ada 10-20 penumpang setiap terbang.
Sudah bisa dipastikan maskapai rugi besar. Miris memang. Biaya operasional bandara per bulan mencapai 6 miliar. Sedangkan pendapatan hanya 500-600 jutaan. Ya, nggak sampai 10%. Rugi bandar istilahnya. Sampai kapan bandara ini bisa bertahan?
Di sisi lain, April lalu, Menko segala urusan, Luhut Panjaitan dengan bersemangat sudah mewakili Presiden untuk kontrak pembangunan 24 bandara baru di Indonesia dengan investor dari China. Dengan alasan pembangunan infrastruktur masih harus digenjot di Indonesia. Sama dengan bandara Kertajati, 24 bandara itu investornya juga dari Cina.
Masalahnya apakah nasibnya akan sama atau tidak bandara-bandara baru ini dergan Kertajati. Jika satu bandara saja biaya operasionalnya minus sampai 5-6 Miliar per bulan.
Bagaimana jika puluhan bandara baru itu mengalami hal yang sama. Siapa yang akan menanggung biaya operasional dan pengembalian hutangnya ke investor Cina? Siapa yang harus bertanggungjawab dengan bangkrutnya hasil pembangunan itu?
Masalah ini mirip dengan proyek LRT di Palembang. Yang diresmikan Presiden dengaan penuh kebanggan dan pencitraan. Tapi sekarang? Biaya operasionalnya masih minus hampir 8 milyar per bulan.
Karena masyarakat Palembang sejatinya memang belum membutuhkan LRT. Tidak terbiasa menggunakan LRT untuk bepergian. Dengan kerugian sebesar itu per bulan sampai kapan akan bertahan ?
Saya kira itu akan terjadi pula dengan pembangunan kereta api supercepat Jakarta-Bandung via Meikarta. Proyek mercusuar yang diresmikan dengan melakukan groundbreaking yang mengharu biru penuh janji surga ini bisa jadi akan mengalami nasib yang sama.
Tidak match antara pendapatan dengan biaya operasionalnya. Kalau sudah begitu bukankah akan terjadi semacam bunuh diri infrastruktur secara massal ?
Itu belum lagi jika bicara nasib jalan tol. Dalam setahun kemarin Jokowi juga ngebut meresmikan beberapa ruas jalan tol untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa pembangunan infrastruktur yang menjadi ikonnya telah sukses dijalankan.
Tapi apa yang terjadi setelah peresmian? Tarif tol yang mahal membuat kendaraan enggan masuk ke tol. Pengendara merasa tidak signifikan antara waktu yang dihemat dengan biaya mahal yang dikeluarkan. Kalau tidak urgen banget mereka akan pilih lewat jalan nasional yang tak berbayar.
Tol dari Solo ke Ngawi ke Jombang hingga Surabaya misalnya. Per jam mungkin tidak ada seratus kendaraan yang lewat. Mungkin hanya 50-an mobil saja yang berpacu. Apalagi kalau malam, jalan tol ini seperti kuburan. Paling satu dua mobil yang melaju di atasnya.
Karena orang masih mikir dalam situasi ekonomi yang katanya meroket begini mengeluarkan biaya tol 400 ribu sekali jalan mungkin terasa berat. Padahal ongkos bensinnya paling cuma habis 150 ribuan.
Bandara Kertajati yang sepi-Foto AntaraNews |
Kalau tidak ada kepentingan bisnis atau acara yang urgen sekali orang akan pilih naik jalan biasa. Bisa hemat 800ribu PP. Kalau sebulan empat kali hampir Rp 5 juta bisa dihemat. Atau orang lebih milih naik bus patas Sumber Kencono saja karena cukup dengan seratus ribu sudah sampai Surabaya.
Padahal argo pembayaran bunga pinjaman dan pokok pinjaman untuk pembangunan insfrastruktur itu kan jalan terus. Kalau tidak ada pemasukan bagaimana bisa lancar pembayarannya ?
Untuk membantu pemerintahan ini ada baiknya kita usahakan kita masuk tol tiap hari. Ada atau tidak ada acara penting. Kalau perlu diada-adakanlah bikin acara apa begitu dengan teman-teman. Itu sebagai wujud dari cinta kita pada bangsa dan pada rejim Jokowi sebagai presiden kita.
Kalau bukan kita yang menolong pak Jokowi mau siapa lagi? Katak jelas nggak bisa nyetir mobil, hanya manusialah yang bisa nyetir mobil. Maka tidak ada jalan lain, tunjukkan nasionalisme mu.
Bantu pak Jokowi. Masuklah tol setiap hari sebagai wujud kita bangga juga punya jalan tol pencitraan. ☺
Agar Bu Menkeu, Sri Mulyani juga tidak pusing tujuh keliling ? Right ? Sebab, kalau nggak, kita akan seperti Maladewa atau Zimbahwe. Negaranya bisa disita dan sengaja disandera dan ujungnya bangkrut dan jadi negara gagal. Karena gagal bayar utangnya.
Mau seperti itu ? Cepat sadarlah rejim Jokowi ! Kalau tidak, rejim mu akan tergilas oleh kemarahan rakyat yang kondisi perutnya makin kritis dan tidak mungkin lagi bisa menunggu terlalu lama.