Pada Kamis (19/9) siang, tiga bus kopaja dan beberapa mikrolet terparkir tak jauh dari Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Tak lama, massa pengunjuk rasa pendukung pimpinan KPK yang baru terpilih dan pengesahan Undang-Undang KPK (UU KPK) mendatangi depan Gedung KPK dalam dua gelombang, hanya berselang 10 menit.
Jumlahnya ratusan orang. Mereka menamakan diri Barisan Aktivis Nasional, Aliansi Masyarakat Peduli Hukum, dan Aliansi Rakyat Lawan Korupsi. Sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga di depan gedung lembaga antirasuah itu.
Ada empat tuntutan massa aksi yang dibentangkan di spanduk panjang berwarna kuning, yakni mendukung pengesahan revisi UU KPK yang baru, mendukung pimpinan KPK terpilih, mempercepat pelantikan pimpinan KPK terpilih, dan membubarkan wadah pegawai KPK. Para peserta membawa aneka poster berisi tulisan tuntutan, yang dipasang di sebuah bambu.
Koordinator aksi Aliansi Rakyat Lawan Korupsi Ferdio meneriakan yel-yel. Sayang, yel-yel orator jarang mendapat respons peserta aksi, yang bukan hanya terdiri dari para pemuda, tetapi juga anak-anak hingga kakek-kakek dan nenek-nenek.
“Ini suaranya tolong. Kita sudah datang beberapa hari, suaranya masih sama seperti anak kecil yang baru lahir,” ujar Ferdio.
Koordinator aksi dari Aliansi Masyarakat Peduli Hukum, Rajul mengatakan, unjuk rasa ini bertujuan mengawal berbagai persoalan yang dijegal oknum-oknum di dalam tubuh KPK. Menurut dia, orang-orang yang ingin merusak citra lembaga antikorupsi harus dilawan.
Di tengah aksi, dua orang peserta memilih menyingkir dari kerumunan. Mereka berjalan menuju bawah jembatan penyeberangan untuk berteduh.
Usia mereka masih belasan tahun. Re dan Ri—bukan nama sebenarnya—mengaku berasal dari daerah Salemba, Jakarta Pusat. Mereka mengatakan, diajak demonstrasi oleh seseorang yang bertindak sebagai koordinator lapangan, yang belum lama dikenalnya.
“Dibayar gocap (Rp50.000) dipotong ceban (Rp10.000). Bantu-bantu orang tua. Daripada cuma minta-minta, mendingan ikut demo,” tutur Ri saat ditemuiAlinea.id di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/9).
Re dan Ri mengatakan, mereka sudah putus sekolah. Keduanya ternyata cukup mengenal beberapa peserta aksi unjuk rasa, meski tinggal tidak satu daerah. Menurut mereka, peserta aksi unjuk rasa ada yang berasal dari Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Mereka menuturkan, akan ikut unjuk rasa selama sebulan. Dari pekan sebelumnya, mereka sudah ikut-ikutan demonstrasi.
“Pulang biasanya jam 5 sore, paling cepat jam 4 sore. Nanti mau minta nasi ke polisi,” kata Re.
Beberapa hari belakangan, Jakarta memang ramai aksi unjuk rasa. Gedung DPR dan KPK jadi sasaran.
Demonstrasi di depan Gedung KPK terjadi pertama kali pada 13 September 2019. Saat itu, massa yang tergabung dalam Himpunan Aktivis Milenial Indonesia serta Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Relawan NKRI meminta DPR melakukan revisi UU KPK dan meminta Wakil Ketua KPK Saut Situmorang serta Wadah Pegawai menarik ucapannya soal dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri.
Aksi tersebut berujung ricuh, usai massa membakar ban dan karangan bunga. Mereka juga berusaha masuk ke Gedung KPK untuk mencopot kain hitam yang menutupi logo KPK. Demonstrasi di depan Gedung KPK dipicu terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dan revisi UU KPK. Ada massa yang pro ada pula yang kontra, berdatangan silih-berganti.
Bukan barang baru
Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (KPSK) Universitas Padjadjaran Muradi, pengerahan massa bayaran bukan fenomena baru. Substansinya, kata dia, tetap ada hubungan penawaran dan permintaan.
“Hanya kemasannya saja yang berbeda. Saat ini, desakan massa menjadi opini publik yang membuat situasi semakin menarik,” kata dia saat dihubungi, Jumat (20/9).
Aksi unjuk rasa bayaran pernah terjadi saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berusaha dijatuhkan dari tampuk kekuasaan pada 2001. Di dalam buku Dari Papua Meneropong Indonesia (2009), Ans Gregory da Iry menulis, ketika itu pengerahan massa dibayar antara Rp20.000 hingga Rp50.000 per hari. Belum ditambah makan gratis dan uang transportasi.
Ans menulis, pengerahan massa bayaran merupakan bagian dari gaya berselisih antarelite politik. Situasi politik, sebut Ans, menyuburkan prospek bisnis pengerahan massa yang siap menggeruduk DPR, Istana, dan jalan-jalan Ibu Kota.
“Bagi kebanyakan orang di Jakarta dan sekitarnya yang menganggur karena krisis ekonomi berkepanjangan, lebih baik ikut demo bayaran ketimbang tinggal menganggur di rumah,” tulis Ans.
Pada 2014, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pun pernah digoyang kedudukannya sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh pengerahan massa bayaran. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) mengadakan aksi unjuk rasa, yang menuntutnya turun dan digantikan Fahrurozi.
Agus Santosa di dalam bukunya Hargaku adalah Nyawaku: Basuki Tjahaja Purnama Berani Mati Demi Konstitusi dan Melawan Korupsi (2015) menulis, ormas yang berunjuk rasa bukanlah representasi masyarakat Jakarta.
“Aksi-aksi mereka, diyakini Ahok, sudah ditunggangi kepentingan politik dan melibatkan massa bayaran,” tulis Agus.
Pengerahan massa bayaran juga dilakukan sebagai bagian dari kampanye. Budiman Sudjatmiko mengungkapkannya dalam buku Anak-Anak Revolusi (2013).
Ia menulis, saat insiden di Lapangan Banteng, Jakarta pada kampanye Pemilu 1982, Menteri Penerangan Ali Murtopo menugaskan anggota sebuah ormas untuk menyamar sebagai massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Massa bayaran yang dikirim dari Jawa Tengah tersebut bertugas memprovokasi dengan melempar batu dan memukuli massa Golkar,” tulis Budiman.
Ana Nadhya Akbar di dalam buku Tatakelola Jurnalisme Politik (2016) mengungkapkan di Cimahi, Jawa Barat, terdapat sebuah kampung yang banyak menerima order menjadi peserta aksi bayaran.
Di Yogyakarta, tulis Ana, tukang parkir dan satpam perumahan sangat bersemangat menerima tawaran sebagai massa bayaran. Mereka bisa mengantongi uang sekitar Rp50.000 hingga Rp70.000, tergantung calon anggota legislatif (caleg) dan partai politiknya.
Selain itu, pada 2009 seorang joki pengerahan massa bayaran mampu meraup untung hingga Rp40 juta.
“Partai maunya mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya, tapi modal terbatas. Padahal sekarang jarang ada yang mau dibayar Rp50.000, minimal mereka meminta Rp75.000,” ujar joki massa bayaran tersebut, dikutip dari buku Tatakelola Jurnalisme Politik.
Massa bayaran adalah “peluang”
Muradi menganggap pengerahan massa bayaran yang mendukung revisi UU KPK adalah “bunga-bunga” demokrasi dan bagian dari dinamika situasi politik, yang seolah-olah mengedepankan dukungan massa.
Di sisi lain, penolakan terhadap revisi UU KPK digaungkan dengan begitu masif, sedangkan jarang sekali ada orang yang berani menyuarakan sebaliknya. Namun, bagi Muradi, sejauh ini pengerahan massa bayaran belum dalam tahap yang mengkhawatirkan.
“Kalau demokrasi substantif, tidak perlu desakan massa yang luar biasa bila calon (pimpinan KPK) yang terpilih berintegritas. Bagi saya, betapa pun ini mencederai demokrasi, tetapi massa bayaran sudah menjadi bisnis yang mau tidak mau, suka tidak suka, kemudian berkembang karena orang melihatnya sebagai peluang,” tutur Muradi.
Di samping itu, kata Muradi, bisnis pengerahan massa bayaran subur karena terdapat simbiosis mutualisme antara para elite, joki pengerahan massa, dan peserta aksi yang dibayar.
Menurut dia, para elite memerlukan massa bayaran untuk membangun persepsi publik sebagai basis pijakan yang setara dengan penyuaraan terhadap penolakan revisi UU KPK. Terlebih lagi, media massa lebih memperhatikan isu penolakan revisi UU KPK.
“Baik pro dan kontra, pasti pernah memakai massa bayaran, tetapi mempunyai pasar tersendiri. Sampai hari ini, polanya sama seperti dulu,” tutur Muradi.
Para elite politik pendukung revisi UU KPK, kata Muradi, memerlukan penyuaraan isu tandingan dalam tempo yang singkat. Pengerahan massa bayaran dipercaya bisa mengakomodir hal itu. Muradi menjelaskan, pertarungan politik dengan model pengerahan massa ini tak mempedulikan komposisi massanya, tetapi seberapa besar kerumunannya.
“Enggak mungkin wartawan menghitung dengan tepat berapa jumlah massanya? Siapa saja yang datang? Pemberitaan media menulis, ribuan orang pendukung revisi UU KPK mengepung Gedung KPK,” katanya. “Dalam teori komunikasi massa, pesannya tersampaikan bahwa ada ribuan orang mendukung revisi UU KPK, bukan hanya ada ribuan massa yang menolak.”
Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto mengatakan, pengerahan massa bayaran untuk mendukung revisi UU KPK diperlukan demi mengubah isu privat yang digulirkan segelintir orang menjadi isu publik. Demi menarik perhatian publik, kata dia, sangat dibutuhkan representasi massa.
Derajad menyebut, pengerahan massa bayaran bertujuan membentuk embrio kerumunan, dengan ekspektasi bisa menggelinding menjadi bola salju massa.
Meski dalam konteks pragmatis, kata dia, kerumunan boleh siapa saja asal dibayar, tetapi memprovokasi dan menarik simpati orang untuk bergabung diperlukan profesionalisme sang orator.
“Itu butuh jam terbang, bukan sekadar merekut ibu-ibu atau anak-anak,” tutur Derajad saat dihubungi, Senin (23/9).
Derajad mengemukakan, pengerahan massa bayaran tergolong bentuk kapitalisasi masyarakat. Menurut dia, massa bayaran biasanya dimanfaatkan untuk mendorong isu bernilai strategis, yang menguntungkan segelintir orang.
Ia mengatakan, pengerahan massa bayaran terikat hubungan transaksional, serta terkait waktu dan apa yang harus dilakukan. Hal ini berbanding terbalik dengan massa yang benar-benar ingin menyuarakan aspirasi.
“Massa murni biasanya punya idealisme, sedangkan massa bayaran transaksional. Jangan sampai terluka kecuali dibayar mahal. Tapi kita tidak bisa membuktikan, (massa) bayaran atau keinginan mereka sendiri,” ujar Derajad.