Empat operator ingin mendompleng jaringan Telkom agar untung lebih banyak
Empat operator ingin mendompleng jaringan Telkom agar untung lebih banyak

Empat operator ingin mendompleng jaringan Telkom agar untung lebih banyak



Komisi I DPR RI memanggil enam operator telekomunikasi terkait rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menurunkan biaya interkoneksi sebesar 26% dari Rp 250 menjadi Rp 204. Ada kecurigaan dari anggota DPR bahwa kebijakan itu untuk memberikan kesempatan kepada operator memperebutkan “kue” Telkomsel dengan cara tidak adil (fair).

“Ada faktor ketidakadilan. Ada operator yang membangun lebih dulu dan lebih banyak, lalu ada yang mau ikut menikmati. Empat operator yang non-Telkom Group ini kan mau mendompleng ke jaringan Telkom dan Telkomsel untuk mendapat keuntungan. Itu tidak fair,” kata Efendi Simbolon dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Direksi dari enam operator di Jakarta, Kamis (25/8).

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ngotot ingin menurunkan biaya interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris. Alasannya, penurunan dengan pola simetris ini akan mendorong pertumbuhan industri telekomunikasi nasional. Namun, ternyata beberapa pakar menilai langkah ini menyalahi aturan.

Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, Dr. Ir. Ian Joseph Matheus Edward, MT di Jakarta, yang juga menilai aturan Kominfo mengenai penurunan biaya interkoneksi itu tidak masuk akal.

Ia menyebut, kalau di Eropa, hampir semua negara di sana sudah menerapkan tarif interkoneksi secara simetris lantaran tingkat coverage jaringan sudah mencapai 90 persen bahkan 100 persen.

Selain prosedur yang tidak sesuai aturan, menurut Ian penetapan biaya interkoneksi tersebut tidak memiliki naskah akademis yang melandasi penetapan biaya interkoneksi menjadi Rp 204.

Ia menyebut PP 52 tahun 2000 pasal 23 bahwa interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan disepakati bersama dan adil. Ini artinya penetapan biaya interkoneksi harus transparan harus menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) dan disepakati bersama oleh seluruh operator.

Senada dengan Ian, Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham dari PT Bahana Securities, penurunan biaya interkoneksi yang dilakukan pemerintah tidak memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. “Justru penurunan biaya interkoneksi ini akan membuat operator yang malas membangun infrastruktur menjadi lebih malas lagi membangun,” katanya.

Selain hanya menguntungkan segelintir operator, penurunan biaya interkoneksi ini menurut Dr. Fahmy Radhi, MBA, pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) akan berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi.


Dengan biaya interkoneksi ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP), operator pemilik jaringan akan dirugikan. Sedangkan, operator pengguna jaringan akan diuntungkan oleh kebijakan penurunan tarif interkoneksi tersebut.

Seharusnya dalam menetapkan HPP, pemilik jaringan biasanya menggunakan basis biaya (cost base ) yang memperhitungan pengeluaran investasi (capital expenditure) dan biaya operasional (operational expenditure). “Sedangkan, operator pengguna jaringan hanya mengeluarkan biaya interkoneksi yang ditetapkan Pemerintah. Pada akhirnya akan mengakibatkan operator yang malas membangun akan semakin malas membangun,” papar Fahmy.

Sementara itu..

Kebijakan baru Kementerian Kominfo yang menurunkan tarif interkoneksi sebesar 26 persen dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit yang akan diberlakukan mulai 1 September 2016 nanti ditolak Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis. Hal ini disampaikan Ketua Umum Federasi Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto bersama Ketua Sekar Telkom.

Bahkan Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom, Asep Mulyana, mempridiksikan, kebijakan penurunan tarif interkoneksi itu akan menguntungkan operator asing. Sementara Telkomsel terancam kehilangan keuntungan yang signifikan karena harus mensubsidi cost interkoneksinya.

“Bila itu yang terjadi, maka sama saja bangsa Indonesia ini memberikan subsidi kepada asing,” ujar Asep. Pihaknya memahami langkah Pemerintah ini untuk mengundang investor asing ke dalam negeri justru agar ada percepatan pembangan tapi sangat disayangkan jika langkah ini merugikan operator yang telah invest besar. “Kami menolak Keputusan tersebut, sebelum diadakan perhitungan yang make sense,” tegas Asep. (SWA)
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger