Cara rezim Jokowi mencitrakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan
Cara rezim Jokowi mencitrakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan

Cara rezim Jokowi mencitrakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan

Upaya BPS menutupi kenyataan bahwa jumlah penduduk miskin jauh lebih besar dari data yang dirilis, merupakan pembodohan dan menipu



Setiap rezim selalu punya cara untuk mencitrakan bahwa rezimnya berhasil menurunkan angka kemiskinan. Bahkan mereka berhak menyebut bahwa pada rezimnyalah angka kemiskinan terendah terjadi.

Ini memang era pencitraan, segala cara ditempuh demi untuk mendapatkan citra positif atas kepemimpinan suatu rezim. Baru-baru Badan Pusan Statistik (BPS) dengan bangga mengumumkan jumlah penduduk miskin per Maret 2018 menurun ke level 9,82% menjadi 25,95 juta jiwa. Jumlah itu turun 633,2 ribu jiwa (1,67%) dibandingkan posisi September 2017 di level 26,58 juta jiwa.

Sebagai gambaran pada 1999, jumlah angka miskin mencapai 47,97 juta jiwa atau 23,43% dari jumlah penduduk. Sehingga jika angka kemiskinan hari ini tinggal 9,82% tentu sebuah prestasi yang menggembirakan.

“Untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di dalam satu digit,” kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto kemarin.

Kalimat BPS disuarakan kembali Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berbicara kepada wartawan. “For the first time in the history of Indonesia tingkat kemiskinan di bawah 10%.”

Paparan Suhariyanto dan Sri Mulyani tersebut perlu disikapi secara hati-hati. Karena selain menggunakan standar yang terlalu rendah, terkadang diutak-atik, juga penuh kemasan atau cosmetic develpment. Sehingga klaim itu masih bersifat relatif dan oleh karenanya semu.

Harus dipahami, hingga saat ini pemerintah masih menggunakan ukuran batas kemiskinan yang terlalu rendah, jauh di bawah standar Bank Dunia, sehingga klaim BPS tersebut masih bisa diperdebatkan.

Pemerintah belakangan ini berkali-kali mengklaim bahwa Indonesia sudah masuk dalam jajaran negara berpendapatan tinggi dan meninggalkan sebagai negara berkembang, maka selaiknya menggunakan standar internasional yang resmi seperti standar Bank Dunia. Penggunaan standar rendah yang membuat seolah-olah penduduk miskin tinggal sebagian kecil dari penduduk bisa menipu diri dan sama sekali tidak bermanfaat.

Garis kemiskinan yang terlalu rendah yang ditetapkan BPS terhadap warga yang berpenghasilan sebesar Rp387.000 per bulan, atau Rp12.900 per hari. Jika dikonversi ke dalam kurs dolar hanya US$0,89 atau dengan kata lain di bawah US$1.

Atau sebaliknya menggunakan angka pengeluaran sebesar Rp415.614 per bulan untuk perkotaan. Dengan rincian Rp120.342 untuk produk bukan makanan dan Rp295.272 untuk makanan.

Jadi orang yang pengeluarannya di bawah Rp415.614 per bulan, maka dapat dikategorikan miskin. Jika angka itu dibagi 30 hari, maka per hari pengeluaran sebesar Rp13.853.

Pertanyaannya nilai Rp13.853 ribu dapat apa untuk tinggal di Jakarta? Beli bakso saja sudah Rp15 ribu per mangkuk. Bagaimana bisa mencukupi biaya makan, kontrakan, pakaian, pendidikan hanya dengan uang Rp13.853 per hari. Praktis, angka yang digunakan BPS sudah tidak realistis.

Adalah lebih rasional dan lebih realistis adalah menggunakan data garis kemiskinan internasional (international poverty line–IPL) sebagaimana di address Bank Dunia, yakni penghasilan sebesar USD1,9 per hari. Atau hampir dua kali lipat garis kemiskinan versi pemerintah.

Sebenarnya pada periode Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa pada 2015 pernah menerapkan garis kemiskinan sebesar US$1,5 per hari. Dengan patokan tersebut, maka terdapat 40% orang miskin di Indonesia atau sebanyak 96 juta jiwa. Apalagi menggunakan standar Bank Dunia sebesar US$1,9 per hari, maka jumlahnya akan lebih besar.

Direktur Indef Enny Sri Hartati berpendapat jika menggunakan angka Bank Dunia masih ada sekitar 70 jutaan orang miskin. Masih ada sekitar 40 jutaan orang yang rentan miskin karena rendahnya penghasilan mereka.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira berpendapat data angka kemiskinan dan ketimpangan harus dibaca dengan hati-hati. Tingkat kemiskinan yang turun ke level 9,82% nyatanya seiring dengan kenaikan signifikan bantuan sosial (bansos). Artinya ada treatment sehingga angka kemiskinan itu bergerak ke bawah. Ada cosmetic development yang mempengaruhi penurunan angka kemiskinan, alias tidak turun secara orisinil.

Jika suatu saat terjadi masalah fiskal, moneter, dan bansos dikurangi, ia menduga angka kemiskinan bakal kembali naik. Seperti sekarang ini rupiah melemah lagi ke level Rp14.500, maka secara riil angka kemiskinan itu akan naik lagi.

“Bantuan sosial tunai dari pemerintah naik 87,6% pada triwulan I 2018. Selain itu, program beras sejahtera serta bantuan pangan nontunai juga berhasil didistribusikan ke masyarakat sesuai jadwal,” kritik Bhima.

Di sisi lain, ia melihat adanya kemungkinan angka kemiskinan terbantu oleh waktu survei BPS yang bertepatan dengan panen raya. Penduduk miskin rata-rata 60% di sektor pertanian, apakah survei dilakukan saat panen raya? Kalau panen, upah buruh tani naik, orang miskin menurun. Hasil survei bisa berbeda jika dilakukan dalam kondisi panen bermasalah imbas faktor cuaca atau lainnya.

Tingkat ketimpangan atau rasio gini yang turun dari 0,391 per September 2017 menjadi 0,389 per Maret 2018 juga dianggap Bhima sebagai pencapaian semu. Sebab, rasio tersebut diukur berdasarkan pengeluaran bukan aset, sehingga tak sepenuhnya bisa mencerminkan kondisi ketimpangan.

Menurutnya, bila mengacu pada data BPS, ketimpangan yang turun terjadi lantaran porsi pengeluaran penduduk kaya alias kelompok 20% teratas berkurang dari 46,4% menjadi 46,09%. Ia menduga, kelompok ini sengaja menahan belanjanya dengan berbagai alasan dari mulai kekhawatiran terhadap ketidakpastian kondisi makro ekonomi hingga pajak

Tahun lalu, BPS bahkan pernah merilis temuan yang mengejutkan mengenai kemiskinan anak-anak. Sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) jumlah anak miskin secara nasional sebesar 13,31%. Hampir separuh (47,39%) anak miskin di Indonesia berada di Pulau Jawa. Ini mengejutkan karena pembangunan yang selama ini dituding terlalu condong ke Jawa ternyata tak mampu mengentaskan kemiskinan warganya, terlebih lagi anak-anak.

Fakta tersebut menyedihkan karena kemiskinan merupakan salah satu akar penyebab terhambatnya anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi maksimal mereka.

Tumbuh dan berkembang dalam kemiskinan berdampak pada kesehatan dan gizi anak-anak, pencapaian pendidikan dan kesejahteraan psikososial anak. Peluang mereka untuk hidup mandiri secara ekonomi dan meraih keberhasilan di pasar tenaga kerja juga lebih kecil dan terbatas.

Data-data tersebut sangat di luar dugaan dan kita memperoleh gambaran lebih jelas mengenai beberapa hal. Pertama, pembangunan yang selama ini lebih terkonsentrasi di Jawa ternyata tidak berhasil mengentaskan kemiskinan.

Kedua, banyaknya anak-anak miskin di Jawa sekaligus memperlihatkan kesenjangan ekonomi.

Ketiga, kesenjangan antar wilayah juga sangat besar antara beberapa provinsi dengan daerah lainnya.

Jadi, banyak hal yang harus diperbaiki dalam mengukur angka kemiskinan, sehingga pemerintah tidak perlu menutupi fakta sebenarnya. Mengapa kita tidak mau menggunakan standar internasional dalam mengukur kemiskinan ? Upaya menutupi kenyataan bahwa jumlah penduduk miskin jauh lebih besar dari data yang dirilis, merupakan pembodohan dan menipu diri.

Itu sebabnya diperlukan kejujuran dalam membuat parameter dan mengukur angka kemiskinan riil, dari sanalah kita sebaiknya membenahi dan mencari solusi yang optimal. Bukan dengan cosmetic development.

Penulis : Djony Edward
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.