JARILANGIT.COM - Ambisi RRC mendominasi perekonomian dengan gagasan One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI) akhirnya menjadi persoalan dalam kontestasi politik negara-negara Asia, termasuk di Indonesia.
Pengamat politik Asia Timur yang juga wartawan CNN James Griffiths dalam kolomnya kemarin (Jumat, 5/4) menguraikan sejumlah fakta yang memperlihatkan betapa sikap anti-RRC” tengah menjadi trend yang berkembang di banyak negara Asia.
Dalam pemilihan umum di Malaysia tahun lalu misalnya, kubu Mahathir Mohamad mendapat keuntungan yang signifikan dari rasa muak yang berkembang luas di tengah masyarakat terhadap infiltrasi ekonomi China di negara itu.
Juga di tahun lalu di Maladewa, Abdullah Yameen mengalami kekalahan karena kedekatannya dengan Beijing dikecam rakyat. Partai Demokrat Maladewa yang berhasil memenangkan pemilihan umum berjanji akan mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai kolonialisasi China.
Hal yang serupa juga terjadi di Myanmar. Pemerintah Myanmar kini bertekad untuk merevisi komitmen mereka pada proyek-proyek BRI.
Di Indonesia fenomena serupa pun terjadi. Menurut Griffiths, menjelang pilpres di Indonesia kubu petahana Joko Widodo berusaha membangun citra bahwa Jokowi tidak memiliki hubungan spesial dengan China.
Padahal, dalam Forum Kerjasama Internasional Belt and Road yang diselenggarakan di Beijing dua tahun lalu, Jokowi menjadi tamu istimewa. Dalam sesi foto bersama, Jokowi berdiri persis di sisi kiri Presiden Xi Jinping. Belum lagi, sejumlah proyek di Indonesia diberikan kepada China.
Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung bahkan sempat menjadi drama karena terkesan secara tiba-tiba dan mendadak diberikan kepada China. Presiden Xi Jinping pun menjadi tamu yang mendapat tempat terhormat berjalan bersisian dengan Jokowi dalam peringatan Konferensi Asia Afrika tahun 2015 lalu.
Menurut dosen politik Asia Timur di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Teguh Santosa, kegelisahan, sikap hati-hati bahkan keinginan untuk mengevaluasi kerjasama dengan China yang berkembang di banyak negara di kawasan sungguh dapat dipahami.
Tadinya banyak negara yang melihat China sebagai sumber alternatif pembiayaan berbagai proyek pembangunan di dalam negeri. Namun belakangan, mulai disadari agresivitas China bisa membuat negara yang terjerat pada bantuan China kehilangan kendali atas kedaulatan negara dan kehilangan wilayah,” ujar Teguh.
Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan berdampingan dengan wilayah perairan yang hendak direbut China, kerjasama dengan China ini bisa menjadi bumerang mematikan.
Bayangkan apabila China mendapatkan hak untuk mengelola titik-titik strategis yang kita punya seperti di sekitar ALKI 1, ALKI 2 dan ALKI 3, seperti mereka menguasai sebuah pulau atol kecil di Laut China Selatan yang telah mereka ubah menjadi pangkalan militer,” kata Teguh lagi.
ALKI atau Alur Laut Kepulauan Indonesia adalah lintasan di perairan nasional Indonesia yang dapat digunakan oleh kapal-kapal asing.
Teguh berharap pemerintah Indonesia baik yang kini berkuasa ataupun yang akan dihasilkan dari pimpres 17 April mendatang dapat memikirkan ulang format kerjasama dengan China tanpa membahayakan kedaulatan negara.
Ini bukan soal pesimisme. Ini soal kehati-hatian. Setiap negara pasti memikirkan hal ini bila ingin menjaga kedaulatannya,” kata Teguh lagi.
Dia mengingatkan protes keras China ketika pemerintah Indonesia memberikan nama baru untuk perairan di utara Pulau Natuna dua tahun lalu. (hms)