Fenomena adanya indikasi kecurangan dalam Pemilu, terutama Pilpres 2019 tampaknya menjadi momen untuk menunjukkan betapa besarnya bangsa Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari dua kubu antara paslon 01 dan tentunya 02 yang paling banyak diperbincangkan di sosial media, dalam dua pekan terakhir.
Lalu pertanyaannya, apakah suara yang terdengar bisa dikatakan mewakili aspirasi masyarakat Indonesia ?
Tentunya bisa, mengingat pengguna sosial media di Indonesia merupakan terbesar di seluruh dunia, baik Facebook, Instagram dan Twitter.
Tampak dalam sehari, puluhan ribu orang mempertanyakan soal kecurangan Pemilu yang terjadi dalam sistem penghitungan surat suara (situng) KPU.
Hal ini tak bisa dihindari, mengingat perubahan bukan lagi merupakan sebuah harapan, melainkan kebutuhan.
Terlebih kita melihat, bahwa sejak visi-misi capres-cawapres digelar, paslon 01 hanya dapat menjual tiga kartu, satu diantaranya adalah kartu sembako murah. Sementara satu diantara program yang ditawarkan oleh paslon 02 adalah penurunan harga listrik dalam 100 hari jika Prabowo menang dalam Pilpres 2019.
Demo di KPU Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang Sumatera Selatan. Sudah mulai perang? pic.twitter.com/9LGh8AaKg2
— Alexa Zara V (@vintenas) 8 Mei 2019
Jika mengingat pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen, pendidikan yang jauh terringgal dibanding beberapa negara di Asia Tenggara, serta melemahnya daya beli masyarakat, tentunya ini menjadi indikator penting yang menunjukkan bahwa kepemimpinan Joko Widodo tidak memberi harapan banyak kepada rakyat Indonesia.
Pernyataan Tegas dr. Ani Hasibuan;
— Malwika Devi Rani (@Malw1ka) 8 Mei 2019
Tiba-Tiba KPU Jadi Dokter Forensik..#PemiluCurangKejahatanDemokrasi pic.twitter.com/yY5LGkOVvU
Kesadaran masyarakat Indonesia akan Pemilu terlihat dari sejumlah video viral tentang pencurian formulir C1, tertangkapnya pelaku pencurian tersebut, peran serta masyarakat dalam menyaksikan perhitungan suara dan mencocokkannya dengan quick count di KPU, dan banyak hal lainnya.
Ini menandakan progresivitas masyarakat terbangun melalui kesadaran betapa pentingnya kehadiran Pemilu yang jujur dan adil di Indonesia sebagai langkah kemajuan dalam negara yang subur dan makmur ini.
Aksi sudah terjadi diberbagai daerah, baik mahasiswa maupun rakyat Indonesia. Kritik tertuang di seluruh sosial media. Apakah ini yang dinamakan awal dari sebuah kekuatan berbasis pro-demokrasi di Indonesia?
Sebagai petahana, Jokowi seharusnya dapat melihat kondisi ini, dimana rakyat mulai menaruh curiga terhadap proses penghitungan suara. Jika ini terus berlangsung… maka tak mungkin dihindari..kesadaran mutlak akan tumbuh di berbagai pelosok desa yang didasarkan atas kebutuhan sebuah perubahan dan ini menunjukkan betapa terdidiknya masyarakat kita akan situasi ini.
Banyak kejadian aneh dalam Pemilu 2019, 400 orang lebih meninggal dunia, video viral kecurangan dimana-mana, jika memang Jokowi dianggap tak mampu memperbaiki kondisi Indonesia sejak kepemimpinannya, lalu apa yang dipertahankan ketika melihat desakan rakyat atas perubahan yang begitu kuat, dorongan atas kejujuran dalam pemilu terus bergulir, jika ini terus didiamkan, maka ini membahayakan kondisi bangsa Indonesia, dan memperlihatkan bahwa elit tidak memikirkan bangsa melainkan kelompok saja.
______________
Oleh: Muda Saleh, analis sosial Universitas Bung Karno-UBK