Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto ternyata banyak juga maunya. Mulai dari keberatan menerima istilah curang dalam pelaksanaan Pemilu 2019, karena kalau kecurangan dalam Pemilu 2019 benar terjadi itu artikan dirinya pasti terlibat. Karenanya Wiranto menyanggah dan merasa keberatan jika Pemilu 2019 dikatakan curang.
Kecuali itu, seusai Pemilu, dalam kapasitasnya sebagai Menko Polhukam, Wiranto membentuk Tim Ahli yang terdiri dari 24 orang Profesor yang beragam ahli tentang hukum untuk melakukan semacam penyaringan terhadap komentar tokoh yang dianggap miring atau membuat panas telinga pemerintah, terutama Presiden tentunya yang riuh menuai kritik dari masyarakat.
Tim hukum yang mau dipanteng Menko Polhukam kelak akan menilai dan memberikan rekomondasi untuk siapa saja yang vokal dalam melakukan kritik terhadap pemerintah dia harap bisa lebih gampang untuk dibereskan. Akibatnya memang kritik langsung berdatangan dari berbagai tokoh pers dan aktivis pergerakan yang merasa hendak diperlakukan lagi seperti pada masa Orde Baru ketika berkuasa.
Padahal kejanggalan yang ditengarai sebagai kecurangan itu sudah ribuan jumlahnya. Untuk masalah dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019 ini pun kritik lumayan gencar dilakukan berbagai pihak yang merasa berkepentingan dan juga dirugikan oleh pelajsanaan Pemilu yang diduga tidak jujur. Dari pihak kosong satu saja telah mengklaim ada 25 ribu kejanggalan yang patut diungkap dari pelaksanaan Pemilu 2019. Sedangkan dari pihak kosong dua tercatat 73 ribu kejanggalan yang minta diusut hingga tuntas.
Jika tidak, maka Pemilu nyata telah gagal dilakukan secara jujur dan demokratis serta tidak adil karena tidak transparan bagi rakyat yang memiliki hak suara sah untuk menentukan pilihannya. Kasus 400 ribu amplop yang tertangkap KPK cukup jelas membuktikan ada kecurangan yang direncanakan dalam praktek pelaksanaan Pemilu yang diharap jujur dan adil ini. Belum lagi kasus pencoblosan surat suara yang dilakukan sebelum pelaksanaan resmi di lakukan seperti yang heboh di Malaysia.
Goenawan Muhamad misalnya melalui akun twiternya mengecam keras rencana Wiranto untuk menerapkan sistem pemantauan yang dilukukan oleh Tim yang terdiri dari 24 orang guru besar itu. Masalah yang janggal tidak saja lantaran bisa mengabaikan aparat yang betugas untuk itu sudah ada, tapi dapat segera dipastikan bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat untuk menyampaikan aspirasi maupun keberaran atas kebijakan yang dirasa tidak berpihak pada rakyat.
Suara dari kalangan pers sudah dilontarkan Goenawan Muhamad. Tegas sekali jurnalis senior ini meminta Wiranto untuk mundur atau segera diberhentikan oleh Presiden, seperti yang dikutif oleh Doktor Syahganda Nainggolan dalam komentarnta di media sosial.
Ilham Bintang misalnya seorang jurnalis senior pun tak kalah keras mengingatkan rencana Wiranto itu sesungguhnya tidak baik untuk kebebasan pers yang sudah mulai dibangun sejak reformasi. Jadi sungguh naib setelah 20 tahun lebih kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik terhadap rezim pemerintah yang tidak becus mengurus rakyat, sekarang mundur kembali ke budaya pembrangusan seperti 20 tahun silam?
Ulah Wiranto pun selaku Menko Polhukam yang mengancam para tokoh langsung ditimpali oleh Said Didu. Agaknya, kehebohan yang dilakukan Wiranto sangat terkesan sarat dengan muatan politik untuk sekedar memperkuat dan mempertahankan posisi dalam kabinet baru yang akan segera disusun. Lantas layakkah suara rakyat yang harus dikorbankan lagi?
Seyogyanya yang ideal itu suara rakyat yang kritis dapat dijaga serta dipelihara bersama agar partisipasi dan peran serta rakyat untuk ikut juga membangun segenap aspek kehidupan bagi segenap warga bangsa dapat maksimal disinergikan. Karena negara dibuat untuk melindungi dan mensejahterakan kehidupan seluruh warga bangsa Indonesia. Bukan untuk penguasa.
Penulis : Jacob Erest, Atlantika Institut Nusantara