Oleh : Dona Sulistia Kusuma, MSi
Ketua Yayasan Pendidik Generasi Khoiru Ummah
Keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, menggambarkan lepasnya hegemoni AS atas kepemilikan di PT Freeport Indonesia (PTFI), namun siap disambut agresif oleh hegemoni Cina. Di balik euforia kepemilikan saham nasional sebesar 51% dengan divestasi saham dari Freeport McMoran Inc (FCX) dan PT Rio Tinto Indonesia oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), ternyata bahaya lain sedang mengincar.
Tambang yang dikelola oleh PTFI ini adalah tambang emas terbesar di dunia dan memiliki potensi kekayaan mineral lain, seperti tembaga, dan perak. Inalum memperkirakan, total nilai yang terkandung dalam tambang ini sekitar 150 miliar dolar AS atau Rp 2,190 triliun. "Emas dan tembaga di tambang bawah tanah Grasberg diperkirakan tidak akan habis hingga 2060," klaim Inalum dalam Kompas.com (24/2).
Usai unggul atas dominasi AS dalam kepemilikan PTFI, saat ini pemerintah nampak gencar menjajakan kerjasama atas Inalum kepada Cina. Sebagaimana dilansir www.aktual.com, menteri Badan Usaha Milik Negara RI, Rini Soemarno, terus mendorong Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang tanah air dengan melakukan hilirisasi.
Dalam kunjungan kerjanya ke Ciina pada Jumat (17/5), Menteri Rini bertemu dengan beberapa calon mitra strategis Inalum, salah satunya Zhejiang Huayou Cobalt Company Ltd., produsen terbesar di dunia untuk material baterai yang digunakan untuk kendaraan listrik. Presiden Direktur Huayou Chen Xuehua berharap penjajakan tersebut dapat menghasilkan suatu kerjasama yang konkrit dengan Inalum untuk memajukan industri hilirisasi tambang di Tanah Air. Adapun, Huayou berencana untuk membangun smelter nikel di dalam negeri untuk memenuhi permintaan industri baterai dengan nilai US$1,83 miliar.
Hegemoni Cina atas tambang Indonesia
Di balik tawaran investasi hilirisasi Inalum yang disambut baik oleh Cina ini, ada beberapa hal yang menarik dikaji. Gede Sandra, peneliti Lingkar Survei Perjuangan (LSP) dan analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin Huayou bekerjasama dengan Inalum untuk kuasai PTFI. Kerjasama dengan Inalum bisa menjadi jalan memutar untuk penguasaan PTFI dan cadangan mineral yang dimilikinya. Inalum yang untuk proyek akuisisinya telah menjual surat utang ke pasar global sebesar 4 milyar dollar, jelas tidak akan mampu untuk berinvestasi lagi dalam pembangunan smelter.
"Mereka (bisa) masuknya ke bantuan untuk kewajiban pembangunan smelter Freeport, yang dalam hal ini utang global bond yang menggunung, argo sudah jalan tapi sampai 3 tahun pertama Inalum belum mendapat manfaat ekonomi (deviden dll). Inalum jelas tidak punya kemampuan untuk patungan bangun smelter Freeport," ujarnya.
Hal lain yang juga menarik dicermati adalah saat Sales Purchase Agreement(SPA) dengan Freeport McMoRan Inc (FCX) dan PT Rio Tinto Indonesia telah ditandangani untuk akuisisi oleh Inalum.
Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa ternyata aksi korporasi Inalum mengakuisisi 51 persen saham PTFI ini harus mendapat izin dari Badan Antitrust (anti monopoli) Cina. Tanpa izin dari Antitrust Cina, Inalum tak bisa melakukan transaksi pembayaran dengan FCX dan Rio Tinto.
"Kalau izin dari Cina itu belum keluar, Freeport enggak berani closing," kata Budi dalam wawancara khusus dengan kumparan, Jumat (28/9) 2018 dalam laman www.kumparan.com.
Cina sebagai konsumen tembaga terbesar di dunia mewajibkan semua produsen tembaga untuk meminta izin ketika melakukan aksi korporasi seperti merger, akuisisi, dan perubahan kepemilikan. "Itu pintarnya dia. Seluruh dunia diatur, hebat. Orang enggak berani karena pasarnya dia besar," ucapnya.
Cina merupakan pasar terbesar tembaga di dunia. Selain untuk produk elektronik dan mobil, tembaga banyak digunakan untuk kabel, pipa dan konstruksi bangunan. Tembaga merupakan komponen kunci yang besar dalam pembangunan infrastruktur Cina dalam satu dekade terakhir.
Inalum dalam kacamata mega proyek One Belt One Road di Indonesia
Penguasaan Cina terhadap tembaga, tentu memiliki peran penting dalam kesuksesan mega proyek One Belt One Road dalam ambisi Cina dalam upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia dengan membangun mega infrastruktur yang menghubungkan Asia hingga Eropa, hingga bisa dikatakan bahwa masa depan Eurasia (Eropa dan Asia) akan mengarah pada kepemimpinan Cina.
Dalam koridor ini, pemerintah Indonesia telah meneken 7 komitmen investasi senilai 23,3 milyar dollar AS dengan Cina dalam forum Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing, Cina pada Jumat, (14/4/2018). "Kami tidak ingin hanya bicara, bicara, dan bicara saja. Tapi kami ingin melihat implementasi," ujar Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Proyek mega infrastruktur yang telah banyak dibaca berpotensi menjerumuskan Indonesia dalam lilitan hutang tanpa kemanfaatan nyata bagi rakyat ini membutuhkan jaminan penyediaan bahan baku infrastruktur yang utamanya adalah tembaga. Penguasaan terhadap smelter tambang adalah jalan masuk penguasaan material infrastuktur.
Dalam investasi yang diteken untuk proyek BRI ini dan beberapa proyek yang dilirik dikerjasamakan adalah partisipasi dalam penyediaan smelter di berbagai titik. Maka jelaslah kerjasama hilirisasi Inalum akan menjadi salah satu akses penguat Cina dalam mimpi besarnya menguasai dunia.