Rabu (24/7) ada dua peristiwa politik penting yang menyedot perhatian publik. Pertama, pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra dengan Ketua Umum PDIP Megawati.
Kedua, pertemuan antara Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Lokasinya berjarak tidak terlalu jauh. Jika ditarik garis lurus, barangkali tidak mencampai satu kilometer. Masih dalam jangkauan jarak bidik. Hanya sepelemparan batu.
Yang satu dihelat di Jalan Teuku Umar, kediaman Megawati. Satunya lagi dihelat di kantor Nasdem di Jalan Gondangdia. Dua-duanya berada di kawasan Menteng. Kawasan paling elit di Jakarta.
Ada persamaan dan perbedaan diantara kedua pertemuan itu. Persamaan yang paling kasat mata, kedua pertemuan dilakukan sambil makan siang.
Karena acara makan siang itu dilakukan oleh para politisi papan atas, tak salah bila kemudian publik dan media menafsirkan secara politis pula.
Sudah menjadi pemahaman umum, ada adagium yang sangat populer “tidak ada makan siang yang gratis.” Apalagi dalam politik.
Jadi mau dibantah. Dijelaskan panjang lebar sampai berbusa-busa, sulit untuk menyebut hal itu hanya silaturahmi biasa. Apalagi hanya sekedar menyebutnya silaturahmi para tokoh bangsa yang kebetulan sudah bersaahabat lama.
Konfigurasi baru peta politik
Dilihat dari dampaknya secara politik, harus diakui pertemuan antara Anies dengan Surya lebih mengejutkan ketimbang pertemuan Prabowo dengan Megawati.
Pertemuan Prabowo dengan Megawati, kendati mendapat liputan media dalam skala besar, namun tone-nya landai. Maklumlah pertemuan itu dihelat setelah Prabowo bertemu dengan Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus.
Publik sudah tidak lagi terlalu kaget dan mahfum, Prabowo dan Gerindra hampir pasti merapat ke istana. Hanya saja kali ini langkahnya semakin dekat. Dia bertemu Megawati sebagai pemilik saham dan aset terbesar dalam partai koalisi pendukung Jokowi.
Ini semacam fatsoen politik dan adanya sebuah kepastian: Prabowo diundang dan diterima dengan tangan terbuka!
Situasinya jelas sangat berbeda dengan pertemuan Anies-Surya Paloh. Boleh dibilang ini adalah sebuah kejutan besar!
Pasca pertemuan di stasiun MRT, massa pendukung 02 sangat kecewa dan bersiap move on. Mereka sedang mencari-cari figur baru penantang Jokowi.
Anies termasuk dalam daftar teratas yang dielus-elus sebagai jago baru. Kendati pernah menjadi tim sukses dan kemudian menjadi anggota kabinet Jokowi, dalam polarisasi politik Indonesia, dia diposisikan berseberangan dengan Jokowi.
Makanya ketika Anies bertemu Surya Paloh, publik dan media menangkap ada sesuatu yang tengah terjadi. Sesuatu yang akan membuat perubahan kostelasi politik sangat besar.
Media kemudian beramai-ramai membuat judul : Surya Paloh Siap Usung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Situs MetroTVnews.com milik Surya Paloh termasuk yang mengunggah judul itu.
Jelas ini berita besar. Layak masuk kategori Breaking News! Kabinet baru belum terbentuk, kok tetiba Surya Paloh sudah mengumumkan gacoan baru!
Publik menangkap ini semacam sinyal perlawanan dari Surya Paloh. Dia tak sepakat atas rencana Jokowi dan Megawati menggandeng masuk Prabowo ke kabinet.
Dua hari sebelumnya Surya Paloh juga bertemu dengan para Ketua umum partai pendukung Jokowi tanpa dihadiri wakil PDIP.
CLBK (Cinta lama bersemi kembali) antara Prabowo dengan Megawati, membuat Surya Paloh Dkk patah hati.
Ada yang berkhianat, mendua hati. Pesta pernikahan berupa pengumuman kabinet belum dihelat, kok sudah ada yang main mata dengan gacoan lama.
Karena itu signal politik yang tegas dan keras harus disampaikan. Anies merupakan medium yang paling pas dan tepat untuk menyampaikan pesan itu.
Kalau sampai Jokowi dan Megawati meneruskan langkahnya, maka mereka akan berhadapan dengan Surya Paloh Dkk.
Belakangan Nasdem secara resmi membantah ada pernyataan itu. Menurut mereka media salah menafsirkan statemen Surya Paloh. Media kemudian ramai-ramai meralat beritanya. Ada “kesalahan” berjamaah, termasuk media milik Surya Paloh.
Bila kita cermati rekaman pernyataan Surya Paloh, benar tidak ada kata secara eksplisit dia akan mengusung Anies Baswedan.
Namun momentum pertemuan, dan statemen-statemen yang disampaikan, secara implisit mengisyaratkan Surya Paloh sedang “mempertimbangkan” dan menilai Anies layak didukung sebagai capres pada 2024.
Media dan publik tidak sepenuhnya salah. Dalam politik, kita tidak boleh hanya memahami apa yang tersurat, tapi juga yang tersirat. Simbol, gestur tubuh, momentum, pilihan lokasi, siapa bertemu siapa, siapa bicara apa, haruslah turut diperhatikan. Ada panggung depan dan panggung belakang.
Sekali lagi pertemuan Anies dan Surya Paloh tidak boleh hanya dipahami sebagai pertemuan biasa. Juga bukan sekedar pertemuan sahabat lama, pertemuan antara seorang kakak dan adik seperti dikatakan Surya Paloh.
Penjelasan bahwa Anies merupakan salah satu deklarator Ormas Nasdem, makin menguatkan dugaan: sedang terjadi perubahan konfigurasi besar dalam formasi politik Indonesia saat ini.
Kita tidak bisa lagi menggunakan kacamata lama dalam bingkai dua kubu besar, kubu paslon 01 dan palson 02. Formasinya mulai mencair dan bisa membentuk beberapa konfigurasi baru.
Bila meminjam analogi dunia silat, manuver Surya Paloh bertemu Anies bisa dilihat sebagai jurus kembangan. Seorang pesilat biasanya menggunakan jurus ini untuk menjajaki dan memancing lawan, sebelum melakukan serangan telak dengan jurus inti yang mematikan.
Semuanya sangat bergantung pada reaksi Jokowi dan terutama Megawati.
Memilih kembali ke Cinta Lama yang Belum Kelar (CLBK) dengan Prabowo, tetap bersama koalisi partai pendukung Jokowi, atau mengambil jalan tengah, poligami politik. End
Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior)