JARILANGIT.COM - Jokowi, dalam pidato Visi Indonesia di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Ahad 14 Juli 2019, mengatakan akan membuka keran investasi seluas-luasnya. Kebijakan ini dinilai Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memiliki potensi memicu konflik agraria antara masyarakat dengan investor.
Koordinator Desk Politik Walhi, Khalisah Khalid, menyoroti penggunaan diksi Jokowi yang bernada ancaman bagi siapa pun yang dianggap menghambat investasi. Pasalnya, kata dia, selama ini masyarakat di sekitar lahan investasi serta aktivis lingungan hidup kerap dicap sebagai pihak yang menghambat.
“Siapa sih yang dianggap menghambat investasi? Itu kan masyarakat adat, petani, nelayan, kelompok rentan yang selama ini mereka berjuang agar tidak dirampas hak atas lingkungan hidup, mereka lah yang selalu distigma penghambat investasi,” kata Khalisah di kantornya Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta, Selasa 16 Juli 2019.
Jokowi dalam pidato Visi Indonesia, mengatakan akan membuka keran investasi seluas-luasnya. Dia mengklaim investasi menjadi salah satu kunci membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya. Jokowi meminta tak ada lagi yang alergi terhadap investasi.
"Yang menghambat investasi, semua harus dipangkas. Baik itu perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi yang ada punglinya. Hati-hati ke depan, ke depan saya pastikan akan saya kejar. Akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek, akan saya hajar kalau diperlukan," kata Jokowi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Ahad 14 Juli 2019.
Manajer Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring mengatakan kebijakan ini berpotensi menggerus lahan-lahan lain seperti konservasi dan lahan milik masyarakat untuk kepentingan investasi. Padahal saat ini, menurutnya, sudah hampir 62 persen luas daratan Indonesia dikuasai investor. Terutama perusahaan di bidang tambang, kehutanan, kelapa sawit, dan migas.
Boy mengatakan sejumlah rancangan regulasi juga sudah disesuaikan untuk memuluskan kepentingan investasi dan komodifikasi tanah. Menurutnya regulasi RUU Pertahanan, RUU Perkelapasawitan, proyek strategis nasional (PSN), P10/2019 tentang penentuan dan penetapan puncak kubah gambut berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut, Perpres Rencana Tata Ruang Wilayah telah mengabaikan lingkungan hidup dan rakyat.
“Hal ini tentu kontradiktif dengan semangat penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang terus berlangsung,” kata Boy. (tmp)