JARILANGIT.COM - Penurunan besaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2020, diprediksi akan berpotensi meningkatkan pengangguran.
Dalam nota keuangan RAPBN 2020 yang dibacakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo dalam Sidang Paripurna Gabungan DPR RI dan DPD RI, di Jakarta, Jumat (16/8/2019), besaran subsidi energi dalam RAPBN 2020 ditetapkan Rp137,5 triliun atau turun 3,58 persen dibanding alokasi tahun lalu yang mencapai Rp142,6 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman menyebutkan, penurunan besaran subsidi energi dalam RAPBN 2020 menunjukan bukti bahwa subsidi selama ini menjadi beban. Khususnya pada periode 2018 hingga 2019.
Ia memerinci, besaran subsidi untuk jenis BBM tertentu (JBT) senilai Rp18,8 triliun, LPG 3 kg Rp52 triliun, dan subsidi listrik Rp62,2 triliun. Pemerintah juga mengalokasikan kekurangan pembayaran subsidi BBM dan LPG pada tahun lalu di RAPBN 2020 senilai Rp4,5 triliun.
Penurunan jumlah output agregat ini sebutnya, akan menyebabkan penurunan penyerapan jumlah tenaga kerja dalam jangka pendek sebesar 0,74 persen dan jangka panjang sebesar 0,22 persen. Dampak selanjutnya, tambah dia, akan mendorong bertambahnya orang yang tidak bekerja atau pengangguran.
Selain tingkat pengangguran tambah Rizal, penurunan subsidi energi itu akan mendorong semakin sulitnya menurunkan angka kemiskinan. "Baik jangka pendek maupun jangka panjangnya," ujarnya.
Bahkan, penurunan jumlah output agregat akan berdampak terhadap iklim investasi. Dalam jangka pendek akan turun sebesar 0,67 persen dan dalam jangka panjang sebesar 0,54 persen.
Rizal menjelaskan, pemerintah perlu hati-hati dalam menurunkan subsidi ini, sehingga perlu realokasi subsidi energi secara tepat. Realokasi tersebut harus mampu mendorong dan menumbuhkan produktivitas sektoral atau industri, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, alokasi subsidi yang tertuang dalam RAPBN 2020 tidak bersifat mutlak. Sebab, alokasi anggaran subsidi dalam RAPBN memiliki basis volume yang kemudian dikaitkan dengan harga. Sementara itu, harga dipengaruhi oleh faktor yang sangat dinamis, yakni nilai tukar rupiah dan harga komoditas.
Sri Mulyani menjelaskan, alokasi subsidi merupakan suatu indikatif berdasarkan parameter volume dan harga. Baik itu untuk menentukan alokasi BBM, LPG, maupun listrik.
"Namun, realitanya di luar volume dari sisi harga mungkin akan terjadi perubahan atau dinamika yang muncul tidak sama persis dengan asumsinya," ujarnya, (20/8).
Namun, Sri memastikan, pemerintah akan terus memantau dinamika yang ada sebagai dasar membuat kebijakan.
Harga BBM dan LPG bisa naik
Ekonom sekaligus Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Agus Eko Nugroho memperkirakan penurunan subsidi dilakukan lantaran harga minyak mentah dunia yang masih berfluktuatif dengan kecenderungan melemah.
Kebijakan menurunkan anggaran subsidi, sebut Agus, bisa memberikan sinyal bahwa harga BBM dan LPG akan naik tahun depan. Sementara tarif listrik kemungkinan bakal ditahan dari kenaikan.
Jika harga minyak mentah dunia turun, sebutnya, maka pemerintah bisa sedikit melonggarkan anggaran subsidi energi. Selain faktor itu, penurunan anggaran subsidi juga dipengaruhi program mandatori penggunaan campuran minyak nabati sebesar 20 persen pada solar (B20).
Program tersebut, kata dia, membuat pemerintah bisa mengurangi impor minyak, meski angkanya belum signifikan. "Kalau pengurangan anggaran subsidi LPG, mungkin ini lebih karena tingginya sasaran yang tidak tepat. Memang, dibandingkan subsidi listrik, subsidi ke BBM dan LPG yang paling susah akurat," ungkap Agus.