Kekacauan kerangka berpikir perppu covid-19
Kekacauan kerangka berpikir perppu covid-19

Kekacauan kerangka berpikir perppu covid-19

Pemerintah hanya mengejar kepastian penyelamatan ekonomi, namun menanggalkan kepastian keselamatan jiwa rakyat. Dalam banyak hal, pemerintah memang selalu dalam ketidakpastian



Oleh: Dr H Abdul Chair Ramadhan SH MH, Direktur HRS Center/Ketua Dewan Pakar Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) dan Ahli Hukum Pidana

Badan Anggaran DPR-RI telah menyetujui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, menunggu rapat paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang sebelum masa sidang berakhir pada 12 Mei 2020.

Kita ketahui, sebelumnya bahwa Presiden Jokowi telah menetapkan dua status yang berbeda terkait pademi COVID-19. Pertama, status “kedaruratan kesehatan masyarakat” melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2020 dan pada saat yang bersamaan ditetapkan pula PP Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 (PP PSBB).

Kedua, status “bencana nasional” dengan Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Kedua deklarasi tersebut menimbulkan permasalahan yuridis terhadap keberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Keberlakuannya bukan hanya sebatas dalam rangka penanganan pademi COVID-19, namun juga berlaku terhadap ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Dalam perspektif hukum kausalitas, setiap akibat/peristiwa yang terjadi didahului adanya suatu sebab. Dengan kata lain, sebab merupakan faktor yang berpengaruh timbulnya suatu akibat. Tidak dapat dipungkiri pandemi COVID-19 telah memberikan dampak antara lain perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, termasuk juga memburuknya sistem keuangan.

Permasalahan pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadikan penanganan pandemi COVID-19 sebatas ‘etalase’ belaka. Kandungannya berisikan tentang penyelenggaraan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Terlebih lagi ditambahkan kalimat “dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan,” pada judul Perppu. Frasa “ancaman yang membahayakan” tentu tidak dimaksudkan terhadap pandemi COVID-19.

Pembedaan tersebut dapat dilihat pada rumusan Pasal 1 ayat (3). Disebutkan keberlakuannya guna melaksanakan APBN yang menunjuk pada penanganan pandemi COVID-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka penerapan Perppu bersifat komulatif atau alternatif, dapat kedua-duanya atau salah satunya. Pada yang tersebut terakhir tidak ada penjelasan apa yang dimaksudkan sebagai ancaman dimaksud.

Perihal ancaman dalam suatu peraturan perundang-undangan lazimnya menunjuk gejala atau fakta tertentu. Terlebih lagi, ancaman bukan merupakan peristiwa alam. Ancaman lebih menunjuk pada perbuatan subjek hukum, bisa manusia alamiah _(naturlijk persoon)_ atau badan hukum _(recht persoon)._ Penanggulangan terhadap ancaman terkait erat dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi.

Kepentingan hukum dimaksud adalah kepentingan individu _(individuale belangen),_ masyarakat _(sociale belangen)_ dan negara _(staat belangen)._ Di sini terlihat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak dirumuskan secara terperinci dan cermat. Selain juga mengandung multi tafsir dan bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Lebih lanjut, pada awalnya Perppu a quo diterbitkan seiring dengan penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat (Keppres Nomor 11). Kemudian digantikan dengan status bencana nasional (Keppres Nomor 12).

Padahal, kedua Keppres tersebut memiliki ‘kandungan’ yang sebenarnya berbeda. Keppres Nomor 11 keberlakuannya menunjuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun Keppres Nomor 12 lebih kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Di sisi lain, kedua Undang-Undang tersebut – selain juga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular – menjadi dasar berlakunya PP PSBB.

Menurut penulis, penetapan status bencana nasional dimaksudkan sebagai dalil pembenar adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal ini guna memenuhi parameter “kegentingan yang memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Dikatakan demikian, jika acuannya hanya kedaruratan kesehatan masyarakat tentulah tidak memenuhi syarat. Kedaruratan kesehatan masyarakat sangat ‘muskil’ untuk dihubungkan dengan terancamnya perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Mengacu kepada pentahapan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan sepertinya dimasukkan ke dalam pengertian ruang lingkup “tanggap darurat” dan “pascabencana” sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Tegasnya, kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan termasuk dalam kedua pengertian tersebut. Dapat dikatakan adanya agenda ‘terselubung’ di balik deklarasi bencana nasional dan berkorespondensi dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Pantaslah dalam Keppres Nomor 12 tidak lagi mencantumkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan sebagai butir mengingat.

Pemerintah telah melakukan ‘analogi’ penanggulangan kebencanaan – yang sejatinya diperuntukkan untuk bencana alam – sama dengan penanggulangan terhadap keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang terpuruk.

Oleh karena itu, terbitnya Keppres Nomor 12 lebih dimaksudkan mempertegas alasan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai bidang yang harus ditangani dengan cara-cara luar biasa dan menyimpang dari regulasi yang ada.

Tidaklah mengherankan beberapa ketentuan dalam 12 (dua belas) Undang-Undang telah dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan Perppu a quo. Oleh karenanya pantas Perppu ini dinamakan ‘Perppu Sapu Jagat’.

Kemudian, kita juga tidak tahu kejelasan periode waktu keadaan ‘kahar’ akibat pandemi COVID-19, sampai berapa lama. Kejelasan hanya menunjuk kepentingan pemerintah terkait batasan defisit anggaran untuk melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto selama masa pandemi COVID-19 dan penyesuaiannya sampai dengan Tahun Anggaran 2023 dengan dilakukan secara bertahap.

Menjadi jelas keberadaan Perppu dipertanyakan dan oleh karenanya diragukan. Semua ini terjadi sebab ketidakcermatan pemerintah. Terdapat kekacauan logika berpikir dalam menentukan kebijakan. Penting untuk dipertanyakan, bagaimana kekuatan deklarasi bencana nasional yang notabene diterbitkan setelah Perppu?

Padahal, Perppu diterbitkan mendahului deklarasi tersebut. Terlebih lagi terbitnya Perppu didasarkan pada deklarasi kedaruratan kesehatan masyarakat yang sejatinya untuk melindungi keselamatan jiwa masyarakat, bukan keselamatan ekonomi.

Pemerintah hanya mengejar kepastian penyelamatan ekonomi, namun menanggalkan kepastian keselamatan jiwa rakyat. Dalam banyak hal, pemerintah memang selalu dalam ketidakpastian.

Jakarta, 7 Mei 2020
 
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.