Memasuki awal 2019, kinerja ekonomi Indonesia sungguh menyedihkan, sekaligus mengkhawatirkan. Pada 15 Februari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan neraca perdagangan Indonesia periode Januari 2019.
Angkanya sangat mengecewakan. Tidak lama berselang, Kementerian Keuangan juga mengumumkan data ekonomi penting lainnya, yaitu realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode Januari 2019, yang hasilnya juga jauh dari memuaskan.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Januari 2019 terpuruk dengan defisit 1,16 miliar dolar AS. Defisit Januari ini melanjutkan tren defisit sejak Oktober 2018 hingga Januari 2019 secara berturut-turut.
Defisit triwulan IV 2018 merupakan defisit triwulanan terbesar pada 2018 dengan defisit 4,97 miliar dolar AS dari total defisit 8,57 miliar dolar AS.
Perkembangan defisit ini cukup memprihatinkan karena mencerminkan produk Indonesia semakin kehilangan daya saingnya. Tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia membukukan 9 kali (bulan) defisit dalam 12 bulan, dan berlanjut di Januari 2019.
Yang lebih mengkhawatirkan, defisit neraca perdagangan ini tidak hanya disebabkan oleh defisit migas (yang memang selalu defisit), tetapi juga disumbang oleh nonmigas yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia.
Bahkan, pada Januari 2019, defisit nonmigas lebih besar dari defisit migas, yaitu defisit nonmigas 704,6 juta dolar AS dan defisit migas 454,8 juta dolar AS.
Perkembangan neraca perdagangan, dan neraca nonmigas, Indonesia menunjukkan fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Indonesia seharusnya membukukan surplus neraca nonmigas yang cukup besar untuk menutupi defisit neraca migas dan defisit neraca pendapatan primer yang semakin lama semakin besar.
Defisit migas 2018 tercatat 12,4 miliar dolar AS, sedangkan defisit neraca pendapatan primer untuk periode yang sama sebesar 30,42 miliar dolar AS.
Alih-alih membukukan surplus yang besar, kondisi neraca nonmigas malah semakin memburuk. Surplus nonmigas tahun 2018 anjlok menjadi 3,84 miliar dolar AS saja. Surplus ini merupakan yang terendah sepanjang masa, dan turun jauh dibandingkan 2017 yang membukukan surplus 20,14 miliar dolar AS.
Dan neraca nonmigas pada awal 2019 ini bahkan defisit 704,6 juta dolar AS. Kalau neraca nonmigas mengalami defisit, dan defisit ini berlanjut, maka krisis ekonomi, yang akan bermula dari krisis mata uang, hanya tinggal menunggu waktu saja.
APBN Januari 2019 Memburuk
Menurut data yang dirilis Kementerian Keuangan, realisasi APBN Januari 2019 sangat mengecewakan, dengan realisasi defisit Rp 45,6 triliun: penerimaan negara Rp 108,1 triliun dan belanja negara Rp 153,8 triliun. Defisit APBN Januari 2019 ini termasuk sangat besar.
Rasio defisit terhadap penerimaan negara 42,2 persen, dan rasio defisit terhadap belanja negara 29,65 persen. Artinya, 29,65 persen dari belanja negara bulan Januari 2019 dibiayai dari defisit, atau utang.
Secara bulanan, defisit APBN Januari 2019 ini nampaknya sudah lebih dari 3 persen, bahkan 3,5 persen, dari PDB (Produk Domestik Bruto) Januari 2019. Pemerintah sepertinya all out ingin mendorong pertumbuhan ekonomi 2019 melalui stimulus fiskal dan defisit cukup besar sejak awal tahun.
Atau sebaliknya, penerimaan negara pada Januari 2019 ini anjlok dan jauh di bawah target karena kinerja ekonomi ternyata terpuruk, sehingga membuat defisit APBN Januari 2019 membengkak?
Defisit APBN Januari 2019 yang begitu besar sudah mengambil porsi 15,4 persen dari total target defisit 2019 sebesar Rp 296 triliun. Penerimaan negara pada Januari 2019 baru terealisasi 4,99 persen, (Rp 108,1 triliun dari Rp 2.165,1 triliun). Sedangkan belanja negara pada Januari 2019 sudah terealisasi 6,25 persen (Rp 153,8 triliun dari Rp 2.461 triliun).
Sementara itu, defisit keseimbangan primer naik dari Rp 14,2 triliun pada Januari 2018 menjadi Rp 22,8 triliun pada Januari 2019. Padahal, total target defisit keseimbangan primer untuk 2019 hanya Rp 20,1 triliun saja. Jadi sudah terlampaui pada Januari ini. Keseimbangan primer adalah penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk beban bunga utang yang pada Januari 2019 mencapai Rp 23,5 triliun.
Yang sungguh mengejutkan, meskipun APBN Januari 2019 "hanya" defisit Rp 45,6 triliun, tetapi realisasi pembiayaan, artinya penambahan utang, ternyata sudah mencapai Rp 122,5 triliun, atau 34,1 persen dari target 2019 sebesar Rp 359,3 triliun.
Artinya, penambahan utang pada Januari 2019 ini jauh melampaui defisit yang hanya Rp 45,6 triliun. Pertanyaannya, mengapa pemerintah mau melakukan hal seperti itu, menambah utang jauh lebih besar dari keperluannya? Bukankah beban bunga utang menjadi sangat besar yang pada gilirannya akan membebani APBN?
Penambahan utang Rp 122,5 triliun tersebut sepertinya bukan hanya untuk menutupi defisit APBN, tetapi mempunyai tujuan lain yaitu mendukung kurs rupiah yang sempat anjlok. Hal ini dapat dilihat kurs rupiah menguat dari Rp 14.465 (2/01/2019) menjadi mendekati Rp 14.000 per dolar AS pada periode Januari 2019.
Tetapi, penguatan kurs rupiah ini sebenarnya artificial, atau dibuat-buat dengan cara intervensi kurs melalui penambahan utang, jadi bukan atas kinerja ekonomi yang membaik.
Sebaliknya, kinerja ekonomi awal tahun ini sangat buruk dengan defisit neraca perdagangan yang besar. Intervensi kurs rupiah melalui penambahan utang sangat berbahaya karena pemerintah tidak bisa selamanya menambah utang untuk intervensi.
Modus seperti ini hanya bisa dilakukan satu atau dua bulan ke depan saja, mungkin maksimal sampai akhir Maret 2019. Setelah itu, kurs rupiah bisa berbalik arah dengan cepat.
Semoga Indonesia memperoleh keajaiban pada bulan-bulan mendatang (seperti harga komoditas melonjak atau harga minyak mentah anjlok) yang membuat ekonomi Indonesia membaik. Karena, tanpa keajaiban, masa depan ekonomi Indonesia terlihat suram seperti tercermin dari data neraca perdagangan dan APBN di atas.
Penulis : Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).