Oleh Hersubeno Arief (Wartawan senior dan pemerhati publik)
Menyimak pidato mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo dihadapan ribuan purnawirawan TNI-Polri Selasa siang (25/6) menyadarkan kita akan adanya ketegangan politik, yang diam-diam mengendap di bawah permukaan.
Ketegangan politik antara rezim penguasa dengan para purnawirawan TNI-Polri. Tidak terlalu nampak, namun sangat bisa dirasakan.
Situasi ini membuat front pertempuran politik yang harus dihadapi rezim pemerintahan Jokowi, makin luas. Selain oposisi dari para pendukung paslon 02 dan kelompok-kelompok civil society, mereka menghadapi kelompok purnawirawan yang soliditas dan jiwa korsanya sangat tinggi.
Sebuah situasi yang tidak boleh dibiarkan berlarut. Bila tidak segera diselesaikan dengan baik, suatu saat bisa menjadi sebuah ledakan. Seperti sebuah magma pada gunung berapi, yang lama tersumbat.
Sejak pagi ribuan purnawirawan TNI-Polri, (dulu bernama ABRI) berkumpul bersama di halaman masjid At-Tin, di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Mereka menghadiri acara silaturahmi sekaligus halal bihalal.
Perkiraan panitia jumlah yang hadir lebih dari 7.000 orang. Terdiri dari para perwira tinggi, perwira menengah, bintara, tamtama, dan para wara kawuri alias istri para pensiunan. Sekitar 5.00 diantaranya merupakan perwira tinggi dari TNI AD, AL, AU, dan Polri. Selain Jakarta, mereka berdatangan dari berbagai provinsi di Jawa.
Jumlah yang hadir ini cukup mengejutkan. Mengingat acara ini bukan digelar oleh organisasi resmi seperti Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri). Undangannya hanya melalui media sosial dan dari mulut ke mulut.
Tanggal dan lokasi acaranya pun berubah-ubah. “Kita ini seperti gerilyawan kota. Untuk mendapatkan gedung susahnya setengah mati. Dipersulit, ” kata seorang purnawirawan bintang dua sambil tergelak.
Sambil meminta maaf karena jadwal dan tempat kegiatan berubah-ubah, Gatot menjelaskan. Semula acara akan digelar di Sentul International Convention Center, Bogor, Ahad (16/6).
Gedung sudah dipastikan dapat digunakan. Tinggal bayar. Namun dua hari menjelang pelaksanaan, panitia mendapat pemberitahuan bahwa gedung tak bisa digunakan. Sudah penuh sampai akhir Juni.
Alasan ini terkesan dicari-cari. Manajer gedung yang bertanggung jawab, ternyata sudah mengundurkan diri. Diduga dia mendapat tekanan.
Setelah itu panitia mencari alternatif berbagai gedung pertemuan yang bisa bisa menampung sedikitnya 3.000 orang, sesuai jumlah undangan.
Setelah mereka mencari-cari di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), sampai kawasan TMII, tak satupun gedung yang bisa digunakan.
Di TMII kasus seperti di Sentul bahkan kembali terulang. Manajer sebuah gedung menyatakan bisa digunakan pada tanggal 24 Juni. Namun tiba-tiba dibatalkan dengan alasan gedung sudah full booked.
“Untunglah pak Sjafrie (Sjamsoeddin) ketika bertemu Bu Titiek (Soeharto) langsung dipersilakan menggunakan masjid At-Tin. Terima kasih bu Titiek” ujar Gatot kepada Titiek Soeharto yang juga hadir dalam acara tersebut.
Walaupun tidak ideal, akhirnya silaturahmi dan halal bihalal itu digelar di halaman masjid. Padahal yang hadir tidak semuanya beragama Islam. Apa boleh buat.
Di luar soal gedung, para purnawirawan juga hanya bisa tersenyum kecut. Tak banyak media yang hadir memenuhi undangan. Dari stasiun televisi hanya hadir TV One. Sementara media mainstream cetak dan online, juga tak banyak yang mengcover.
Sepertinya di kalangan media sudah ada semacam pemahaman bersama, bahwa acara tersebut, tak perlu, tak boleh dimuat dan dipublikasikan.
Dipersulitnya kegiatan tersebut tak lepas dari situasi politik saat ini, dan posisi para purnawirawan jenderal yang menjadi tuan rumah kegiatan.
Selain Gatot, terdapat nama Jenderal TNI (Purn) Agustadi SP, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdjiatno, Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat, dan Komjen Pol (Purn) Sofyan Jacoeb, juga Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin.
Di luar nama Jenderal Agustadi SP (KSAD 2007-2009), dan mantan Letjen TNI (Purn) Sudi Silalahi yang juga hadir, semua jenderal tadi selama ini dikenal sebagai jenderal oposisi. Mereka pada pilpres lalu mendukung paslon 02 Prabowo-Sandi. Sofjan Jacoeb malah sudah ditetapkan sebagai tersangka makar.
Bersamaan dengan proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), polisi sangat menghindari adanya pengumpulan massa. Apalagi yang berkumpul adalah para purnawirawan TNI-Polri. Jelas sangat mengkhawatirkan.
Hubungan pemerintah dengan para purnawirawan, khususnya TNI AD dan lebih khusus lagi korps baret merah (Kopassus), saat ini juga sedang sangat tegang.
Penahanan mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko dan mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen memunculkan kekecewaan bahkan kemarahan. Jiwa korsa ( esprit de corps ) mereka terganggu.
Menhan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu —nota bene orang dalam pemerintahan— bahkan ikut bersuara keras dan berkali-kali mempersoalkan.
Soenarko dan Kivlan, kata Ryamizard, adalah figur yang punya jasa besar terhadap bangsa dan negara. Mereka sejak muda sudah mempertaruhkannya jiwa raganya untuk Pancasila dan NKRI. Karena itu tidak layak diperlakukan seperti itu.
Soenarko ditangkap dengan tuduhan makar dan menyelundupkan senjata. Kivlan ditangkap dengan tuduhan kepemilikan senjata api dan makar.
Soenarko sudah dibebaskan dengan jaminan. Sementara Kivlan masih ditahan.
Soal pembebasan Soenarko ini cukup menarik. Menurut Mabes Polri dia dibebaskan dengan jaminan dari Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Menko Maritim Luhut B Panjaitan.
Pengacara Soenarko membantah. Menurutnya yang menjamin Soenarko adalah istri, anak dan ratusan purnawirawan TNI-Polri.
Bangkit dan bergerak, atau punah
Lepas dari siapa yang menjamin, namun pembebasan Soenarko menunjukkan pemerintah tampak menyadari sepenuhnya apa yang tengah terjadi.
Pada pilpres lalu pasangan Jokowi-Ma’ruf mengalami kekalahan di lingkungan perumahan anggota TNI. Di kompleks perumahan Kopassus Cijantung, bahkan perumahan anggota Paspampres di Kramatjati, Jakarta Timur mereka juga kalah.
Penangkapan para purnawirawan hanya akan membuat ketidakpuasan di kalangan purnawirawan dan kalangan Keluarga besar TNI terhadap pemerintah semakin tinggi. Hal itu tidak boleh dibiarkan terjadi.
Penangkapan mereka juga akan menimbulkan gesekan yang tidak perlu antara TNI dan Polri. Tanda-tanda semacam itu sudah banyak bermunculan di lapangan.
Secara tidak langsung apa yang disampaikan Gatot dalam sambutannya juga menyiratkan hal itu.
Kepada para purnawirawan Gatot mengaku telah melakukan silaturahmi ke para senior TNI. Mereka menitipkan pesan terkait situasi dan kondisi bangsa saat ini.
“Saya hanya menyampaikan saja. Intinya adalah dalam situasi sekarang ini kita bangkit dan bergerak atau negara kita akan punah,” kata Gatot.
Gatot menyingung benturan budaya global ( global civilization ), perlunya para purnawirawan untuk terus mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa, dan sumpah prajurit yang akan tetap setia kepada Pancasila dan NKRI.
“Ini kalau kita tidak waspada, kita akan hilang seperti suku Aborigin dan suku lainnya. Siapa lagi yang peduli kalau bukan kita,” ujarnya.
Kendati pesannya disampaikan kepada para purnawirawan, namun sangat jelas kemana pesan itu sesungguhnya ditujukan.
Seperti dalam pewayangan, isyarat yang disampaikan oleh Gatot adalah “perang kembang.” Sebuah isyarat halus, namun sangat tegas yang harus diperhatikan pemerintah.
Berkumpulnya ribuan purnawirawan TNI bukanlah sebuah peristiwa biasa yang bisa diabaikan begitu saja. end