JARILANGIT.COM - Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan tahapan penyederhanaan nominal mata uang rupiah atau redenominasi meskipun Rancangan Undang-undang (RUU) redenominasi baru akan masuk Program Legislasi Nasional (Proplegnas) untuk dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bila pembahasan lancar, maka tahapan persiapan akan dimulai pada 2018 dan 2019. Selanjutnya pada 1 Januari 2020 dimulai masa transisi.
"Jadi kalau seandainya di tahun 2017 ini bisa didukung oleh pemerintah dan DPR, tahun 2018 dan 2019 adalah tahun persiapan untuk berlaku 1 Januari 2020," kata Gubernur BI Agus Martowardojo selesai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/7/2017).
Masa transisi membutuhkan waktu empat tahun, yang artinya sampai 2024. Dalam tahapan tersebut nantinya adakan berlaku rupiah lama dan rupiah baru, begitu juga dengan harga barang.
"1 Januari 2020 sampai 2024, itu adalah masa transisi, di mana pada saat itu di Indonesia akan ada rupiah lama dan rupiah baru, tetapi bersama, dan harga-harga barang dan jasa harus dengan Undang-Undang memenuhi untuk dipasang harga-harga baru dan harga lama," jelasnya.
Tahapan belum selesai, lima tahun ke depan akan ada finalisasi berupa penarikan rupiah lama.
"Setelah itu, setelah 5 tahun, baru tahap face out, yaitu tahun 2025 sampai tahun 2029. Jadi ada periode kira-kira 11 tahun lah periode ini berjalan," tandas Agus.
Pemerintah berniat memangkas nominal atau angka nol di belakang rupiah. Rencananya rupiah pecahan Rp 1.000 nanti akan ditulis Rp 1 saja tanpa mengurangi nilainya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru Perry Warjiyo berjanji melanjutkan rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah. Memang seberapa pentingnya rencana yang sudah berkali-kali digulirkan tersebut ?
Menurut Pengamat Pasar Uang Farial Anwar, pemangkasan angka nol di rupiah memang sudah sangat penting dilakukan. Bahkan dia memandang besarnya nominal rupiah sudah memalukan.
"Itu memalukan sebenarnya. Saya sudah berkali-kali diskusi dengan BI. Alasannya kita lakukan redenominasi karena mata uang kita nilainya itu memprihatinkan. Kita sebagai bangsa kan malu masa US$ 1 nilainya sampai Rp 13.700," tuturnya saat dihubungi detikFinance, Kamis (5/4/2018).
Bukan hanya itu, kata Farial, Indonesia juga sudah sejak 2010 masih sebagai kategori garbage money atau uang sampah. Rupiah saat itu masuk dalam 10 mata uang terendah terhadap dolar AS.
"Ini sangat memalukan," tegasnya.
Menurutnya dengan memangkas tiga angka nol membuat volatilitas Rupiah terhadap mata uang lainnya tidak terkesan besar. Hal itu juga dianggap menjadi alasan banyaknya money changer di negara lain yang enggan menerima Rupiah.
"Di negara lain banyak money changer yang tak mau terima Rupiah padalah ada penukaran uang Malaysia, Singapura, Australia. Hanya tempat-tempat tertentu yang mau terima Rupiah. Karena mereka bingung nilai naik turun rupiah terkesan besar, ribuan dalam waktu singkat," tambahnya. (DF)