Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi.
Apa yang bakal terjadi jika PDIP menolak power sharing yang diajukan Prabowo Subianto sebagai syarat rekonsiliasi seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PAN Prof. Amien Rais saat bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019)?
Dapat dipastikan, upaya rekonsiliasi yang diinginkan Jokowi akan terancam gagal tidak bisa dieksekusi. PDIP tak sepakat dengan konsep rekonsiliasi Amien Rais yang meminta jatah kursi 55 persen untuk koalisi dan 45 persen untuk oposisi.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, tidak ada jatah-jatahan kursi di pemerintahan Presiden Jokowi. “Kita bernegara bedasarkan konstitusi, tidak ada jatah-jatahan menteri, dengan pengertian itu hak prerogatif (presiden) sepenuhnya,” katanya.
Melansir RMOL.com, Sabtu (20/7/2019), parpol pendukung berkedudukan sebagai pengusul sosok yang diperlukan presiden untuk menjabat posisi menteri. Namun, kata dia, kewenangan untuk mengambil menteri ada di tangan presiden, bukan partai politik.
“Presiden punya kewenangan untuk memilih siapa yang pas karena menteri bukan petinggi biasa, menteri seorang yang menguasai hal ikhwal kementerian yang dipimpinnya. Menteri harus sosok negarawan, bukan yang berjuang demi kepentingan kelompoknya,” tegasnya.
Oleh karenanya, ia tidak sependapat dengan pemikiran Amien Rais soal syarat rekonsiliasi agar oposisi bisa bergabung dengan pemerintah. “Tentu saja (tidak setuju) kita tidak bicara berapa persentasenya,” tegasnya.
“Kita bicara mana anak bangsa yang punya kemampuan menjadi pendamping Pak Jokowi,” lanjut Hasto. Syarat lain yang disampaikan Amien Rais adalah kesediaan Jokowi untuk menerima ide dan program Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.
Memang, pasca pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, peluang Partai Gerindra masuk gerbong pemerintahan Jokowi jilid II semakin besar. Diperkuat lagi dengan pernyataan Prabowo yang siap membantu.
Pernyataaan Ketua Umum Gerindra Prabowo “kami siap membantu jika diperlukan” ketika bertemu dengan Jokowi di Jakarta pada 13 Juli 2019, diyakini sebagai isyarat, Gerindra siap bergabung dalam pemerintahan baru Jokowi.
Kabarnya, setelah pertemuan di Stasiun MRT itu, bakal ada lagi pertemuan lanjutan antara Jokowi dan Prabowo. Pertemuan tersebut disebut-sebut untuk menjajaki kerja sama politik yang lebih matang dalam lima tahun ke depan.
Jika pembicaraan sudah ketemu, Jokowi bisa mengakomodir gagasan dan program Prabowo, dan lebih maju lagi, Gerindra bisa menempatkan kadernya di kabinet Jokowi II. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, Prabowo juga mewarnai kepemimpinan Jokowi.
Posisi Prabowo dalam pemerintahan Jokowi mendatang inilah yang tentunya membuat tidak nyaman Partai Demokrat (baca: Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono). Pasalnya, sejak awal Demokrat yang sudah menyatakan siap membantu Jokowi.
Namun, sejak ada upaya rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo itu, hubungan SBY dan Jokowi mulai “renggang”. Paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin itu dan parpol pendukungnya saat ini dikabarkan tidak melirik lagi Demokrat dan SBY.
Alasannya, Jokowi dan parpol pendukungnya lebih nyaman dan tenang bekerja sama dengan Prabowo plus Gerindra, daripada Demokrat yang abu-abu. Posisi Demokrat di pemerintahan diibaratkan seperti “duri dalam daging” atau “jempol kaki cantengan”.
Konsekuensi dari rekonsiliasi Jokowi – Prabowo di antaranya, yaitu Jokowi selaku Presiden RI akan mendelegasikan sebagian besar tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Pemerintahan kepada Prabowo. Sehingga, Jokowi hanya sebatas sebagai Kepala Negara.
Wapres Jusuf Kalla dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, konon, sudah setuju dengan format ini. Keduanya nanti sebagai penasehat aktif pemerintah. Inilah yang membuat para “Dalang” yang selama ini berada mengendalikan Jokowi meradang.
Pasalnya, jika format rekonsiliasi dengan komposisi 55 : 54 untuk Jokowi : Prabowo, mereka tidak bisa “berkuasa” lagi atas Presiden Jokowi. Syarat power sharing itu sesuai dengan hasil Pilpres 2019 versi KPU dan MK yang diamini MA.
Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais bertemu dengan Prabowo, Selasa (16/7/2019). Pertemuan ini digelar pasca pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT, Sabtu (13/7/2019) lalu. Amien Rais menjelaskan isi pertemuannya dengan Prabowo.
“Saya tadi ada pertemuan dengan Pak Prabowo, bukan di 04 atau 06, bukan di sini, tadi di tempat lain. Berlangsung sekitar 25 menit,” kata Amien Rais di kediamannya, Kompleks Taman Gandaria Blok C Nomor 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019).
Hal yang mengejutkan dari pembicaraan Amien Rais dan Prabowo itu adalah terungkapnya syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo kepada Jokowi. Syarat ini nampaknya sangat berat untuk bisa dipenuhi pihak Jokowi.
Kalau syarat ini disetujui pihak Jokowi, maka bakal terjadi rekonsiliasi. “Yang kedua ini saya bocorkan, bahwa Prabowo mengatakan yang namanya rekonsiliasi itu memang betul-betul harus objektif,” ungkap Amien Rais kepada wartawan.
“Kemudian peta politik ke depan bagaimana, kalau pro dengan kedaulatan pangan, energi, air, ketahanan bangsa, pro pada rakyat, pro pasal 33 UUD 1945, maka rekonsiliasi dapat dipertimbangkan,” lanjut Amien Rais.
“Dan tentu kekuatannya (power sharing/bagi-bagi kekuasaannya) seperti tercerminkan sesuai hasil Pilpres menurut keputusan KPU dan putusan MK, yakni 55:45 power sharing. Kalau memang betul mau rekonsiliasi,” tegas Amien Rais.
Menurutnya, kalau tak ada power sharing 55:45, maka itu bukan rekonsiliasi, tapi kooptasi. “Dan jelas kalau tidak dipenuhi syarat power sharing 55:45, maka jelas sekali akan memilih menjadi oposisi,” tambahnya.
Jika itu terealisasi, cita-cita NKRI menjadi adil makmur akan segera terwujud. Karena, para koruptor juga akan berpikir panjang jika akan korupsi. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh para “Dalang” pengendali Jokowi selama ini.
Format seperti itulah yang ditolak mentah-mentah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tadi. “PDIP itu tergantung Bu Mega dan Prananda Prabowo. Hasto itu cuma radio rusak, Mas!” ungkap sumber PepNews.com.
Jika Hasto dan PDIP ngotot menolak format rekonsiliasi seperti yang diajukan Prabowo, ini justru akan menyulitkan paslon 01 sendiri. Jokowi – Ma’ruf bisa terancam gagal dilantik sebagai Presiden – Wapres RI periode 2019-2024.
Meski menang secara yuridis formal, secara politis Jokowi – Ma’ruf bisa saja gagal dilantik oleh MPR. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen.
Meski Paslon 02 Prabowo – Sandi tidak menang secara nasional (menurut KPU), tapi keduanya menang di 26 provinsi, tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 point.
Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa.
Kedua, pemilihan ulang. Banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo – Sandi. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo – Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024.
Perlu dicatat, UUD 1945 hanya bisa diubah melalui amandemen dalam Sidang Umum MPR dan DPR. Kini, pilihan ada di tangan Jokowi dan PDIP, bukan “radio rusak”!
Oleh Moch. Toha (Wartawan Senior)