JARILANGIT.COM - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril dinilai sebagai preseden buruh perlindungan perempuan.
Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fahira Idris menilai bahwa keputusan ini akan membuat perempuan lebih memilih diam jika menemukan masalah yang dialami oleh Baiq Nuril. Sebab, mereka akan takut dikenakan pidana.
“Ini sangat memperihatinkan, dan ini momentum agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE. Pasal-pasal karet dalam UU ini membelenggu keadilan terutama mereka yang lemah. Tidak boleh ada Baiq Nuril-Baiq Nuril lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (5/7).
Fahira mengungkapkan, penolakan PK ini melukai rasa keadilan publik. Selama ini publik berharap MA menjadi oase dalam mengadili kasus kasus yang terkait UU ITE karena memang terbukti berbagai pasal dalam UU ini bermasalah.
Terlebih, kasus Baiq Nuril yang mendapat perhatian besar dari publik karena yang bersangkutan adalah korban pelecehan seksual verbal.
“Sekarang saya mau tanya, sebagai korban pelecahan seksual secara verbal, keadilan apa yang didapat Ibu Baiq Nuril. Hukum ada di mana saat dia dilecehkan,” ujar senator asal Jakarta ini.
Kasus Nuril mencuat ke publik pada 2017 lalu. Bermula ketika Nuril yang merupakan staf honorer di SMAN 7 merekam pembicaraan dengan kepala sekolah berinisial M yang terjadi pada 2012.
Dalam percakapan, M menceritakan soal hubungan dengan seorang perempuan. Belakangan, percakapan itu terbongkar dan beredar di masyarakat. M tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi pada 2015. Dua tahun berlalu, Nuril diproses polisi dan ditahan pada 27 Maret 2017 dengan dijerat pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Pengadilan Negeri Mataram kemudian memutus Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah di persidangan, jaksa penuntut umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada Juli 2019, MA menolak PK Baiq Nuril dan memutusnya bersalah. Nuril kini dihukum enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta. (rmo)