JARILANGIT.COM - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang resmi menutup dua lokalisasi di Semarang, yakni Sunan Kuning dan Gambilangu. Pascapenutupan, dua kawasan tersebut dijaga ketat aparat keamanan.
Satpol PP Kota Semarang melakukan pengawasan intensif di dua kawasan eks lokalisasi tersebut bersama Polrestabes Kota Semarang dan Kodim Kota Semarang. Satpol PP membuka posko selama 45 hari pasca penutupan.
“Untuk saat ini kami masih memberikan kebebasan bagi para wanita pekerja seks (WPS) melakukan aktivitas seperti biasa. Kami tidak akan memaksa mereka untuk kembali ke daerah asal masing-masing sebelum tali asih diberikan,” katanya, Jumat (9/8).
Cerita Lengkapnya..seperti dilansir dari tribunejateng
Setelah ditutupnya lokalisasi Sunan Kuning, Pemkot Semarang akan mengubahnya menjadi tempat wisata religi.
Kemudian para pemandu karaoke dan pekerja seks komersial (PSK) akan mendapatkan uang tali asih dari Kementerian Sosial.
Tapi menurut sejarawan dan penulis buku Ough! Sunan Kuning (1966-2019), Bambang Iss Wijaya, penutupan resos Argorejo hanya untuk menutupi 'wajah' Pemkot saja.
"Ya, menutupi 'wajah' dari Pemkot dan Pemda lain yang sudah lebih dahulu menutup tempat lokalisasi. Hanya ingin menyelamatkan mukanya sendiri. Saya kira ini tidak tepat. Seharusnya Pemkot bangga karena memiliki resos percontohan," terangnya saat acara diskusi dan bedah buku di resos Argorejo, Rabu (7/8/2019).
Alasan Bambang mengucapkan hal tersebut bukan karena ingin membela warga lokalisasi Sunan Kuning. Ia hanya ingin meluruskan bahwa Sunan Kuning juga bisa menjadi aset wisata untuk Pemkot Semarang.
"Kalau sudah ditutup, Semarang akan kehilangan sejarahnya. Karena tempat ini juga bagian dari sejarah Kota Semarang," tuturnya.
Bambang bercerita, semula lokalisasi Argorejo hanya sebuah bukit yang berisi dua rumah. Lokasi tersebut mejadi pilihan Pemkot Semarang saat itu karena banyak warganya resah.
"Sebelum ada Argorejo, para pekerja seks komersial menjajakan diri di Jalan Gendingan, Jalan Bojong (Pemuda), sekitar Stadion Diponegoro, dan wilayah Karanganyar Pecinan. Karena meresahkan warga sekitar, maka Pemkot memfasilitasi mereka di lokasi yang jauh dari kota. Maka dipilihlah lokasi ini," jelas Bambang.
Sebelum bernama Resosialisasi Argorejo, pada tahun 1966 lokalisasi tersebut bernama Sri Kuncoro. Tapi karena warga Sri Kuncoro keberatan dengan nama tersebut, maka diubah menjadi Sunan Kuning.
"Nama Sunan Kuning (SK) diambil dari nama petilasan ulama muslim berdarah tionghoa yang pernah menyebarkan agama islam di tempat ini.
Tapi berjalannya waktu, kalangan masyarakat muslim di Kota Semarang keberatan. Karena menggunakan nama petilasan untuk tempat prostitusi. Akhirnya diganti lagi menjadi Resos Argorejo," beber dia.
Nama tersebut akhirnya didaftarkan ke Pemkot Semarang untuk mendapatkan legalitas yang akhirnya bisa diresmikan oleh Wali Kota Semarang saat itu.
Tapi pada tahun 1981, ada beberapa warga resos Argorejo mulai membubarkan diri. Akhirnya mereka pindah lokasi di wilayah Simpang Lima Semarang yang kemudian dikenal dengan nama ciblek.
"Ciblek di Simpang Lima cara menjajakannya dengan menawarkan teh poci. Misal saya penjual minumannya, para PSK ini yang menawarkan minuman tersebut," katanya.
Ciblek di Simpang Lima dirasa oleh sebagian warga meresahkan dan Pemkot diminta untuk memindahkan mereka.
"Ada sebagian yang kembali ke resos Argorejo, tapi sebagian lainnya akan dipindah ke lokasi yang ada di Pudak Payung. Tapi warga sekitar situ menolak dan banyak rumah yang sudah dibuat Pemkot dirobohkan warga. Akhirnya mereka tetap dialihkan ke resos Argorejo," tambah dia.
Penutupan tempat prostitusi yang ada di Indonesia tidak terlepas dari peran Menteri Sosial saat masih dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa.
Menurut Bambang, Khofifah mengeluarkan aturan Pemkot dan Pemkab untuk menutup tempat prostitusi maksimal hingga tahun 2019.
"Jakarta, Bandung, Solo, dan Surabaya sudah. Maka kini giliran Semarang. Tapi saya yakin prostiusi masih tetap berjalan walau dengan nama lain. Sama seperti Dolly yang saat ini juga masih ada," tutupnya.
(Faisal Affan)