Pemprov DKI baru saja menggelar pawai peringatan tahun baru 1 Muharram 1441 Hijriah. Acara tersebut merupakan rangkaian dari Jakarta Muharram Festival 2019.
Baru pada kepemimpinan Gubernur Anies R Baswedan acara tersebut digelar. Acaranya meriah habis…..
Warga antusias menyaksikan dan menyambut pawai obor. Acara dimeriahkan oleh marching band dan marawis, dari kawasan Monas,sampai ke Jalan Thamrin, dan Sudirman.
Pawai obor selama ini menjadi salah satu ciri khas kegiatan umat Islam menyambut berbagai hari-hari besarnya.
Di media sosial para pembenci (haters) Anies membulinya habis-habisan. Apalagi ada kegiatan salat maghrib berjamaah pula di Bundaran Hotel Indonesia.
Sebaliknya para pendukung Anies menyambut antusias dan memuji habis kegiatan ini. Bagi umat Islam, khususnya warga Betawi, roh kota Jakarta seakan kembali.
Kegiatan serupa dalam beberapa dasa warsa terakhir, mulai terpinggirkan. Kalah jauh dibanding peringatan Tahun Baru Masehi. Belakangan yang sangat mencolok adalah peringatan Tahun Baru Cina, Imlek.
Melihat langkah-langkah Anies membenahi ibukota. Menghidupkan kembali tradisi lama, tak mengherankan banyak pengamat menghubung-hubungkan pemindahan ibukota dengan posisinya sebagai Gubernur DKI.
(Banyak kepentingan)
Lantas apa hubungannya pemindahan ibukota dengan Anies?
Ada rivalitas dan benturan kepentingan antara Jokowi and his gank, dengan Anies Baswedan. Karena itu, ibukota harus sesegera mungkin dipindah. Targetnya mempreteli peran dan kewenangan Anies sebagai gubernur ibukota negara.
Pertama dari sisi Jokowi. Pemindahan ibukota sesegera mungkin dari Jakarta akan membuat Anies Baswedan tak lagi menjadi bayang-bayang Jokowi. Tidak lagi ada matahari kembar.
Dengan posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tak bisa dipungkiri Anies adalah pejabat publik kedua yang paling populer di Indonesia setelah Jokowi.
Berbagai langkahnya membenahi problem perkotaan Jakarta, membuat Anies sangat populer. Di bawah kepemimpinan Anies, Jakarta menuai berbagai penghargaan tingkat lokal dan internasional.
Jakarta baru saja dinobatkan sebagai salah satu dari tiga kota di dunia yang berhasil membenahi sistem transportasi dan mobilitas kota. Penghargaan diberikan pada ajang Sustainable Transport Award (STA) 2019 yang digelar di Forteleza, Brazil. Padahal selama ini transportasi dan mobilitas kota menjadi salah satu problem terbesar Jakarta.
Banyak yang secara bercanda menyebutnya sebagai “Gubernur Indonesia.” Gegara Mendagri Tjahjo Kumolo keseleo lidah.
Sebagai daerah Khusus Ibukota, menyebabkan Jakarta mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh provinsi lain.
Status dan kewenangannya berbeda dengan gubernur daerah lainnya. Termasuk bila dibandingkan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, maupun Daerah Istimewa Aceh.
Tak heran Ahok ketika menjadi gubernur DKI pernah mengklaim, posisinya setara dengan menteri.
Dengan pemindahan ibukota, maka Anies akan kehilangan semua keistimewaan itu. Statusnya sama dengan kepala daerah lain. Jakarta kemungkinan juga akan dipecah-pecah menjadi beberapa daerah tingkat dua. Posisi walikota dan bupatinya menjadi lebih otonom.
Sebagai gubernur, secara berkala Anies harus berurusan dengan kementerian di Ibukota. Statusnya menjadi “orang daerah” yang lapor ke pusat.
Jadi pemindahan ibukota ini menjadi semacam kudeta tidak berdarah terhadap Anies.
Kedua, dari sisi Ahok, sekutu dekat Jokowi. Pemindahan ibukota menghidupkan kembali mimpi lamanya menjadi penguasa di ibukota. Dia tak perlu menjajakan diri menjadi Walikota Surabaya, atau Gubernur NTB.
Secara kalkulasi politik, sebelum Pilkada DKI 2017 langkah Ahok sebagai Gubernur DKI (2017-2022) nyaris tak terbendung. Namun gegara tersandung penistaan agama, semuanya berubah total.
Ahok dikalahkan Anies. Eksperimen dan skenario politik etnis Cina yang disokong penuh oleh para taipan, menjadi berantakan.
Andai saja dia memenangkan Pilkada DKI 2017, besar kemungkinan Ahok akan digandeng Jokowi sebagai cawapres. Bukan Ma’ruf Amin. Dengan posisi sebagai wapres, peluang Ahok mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2024 terbuka lebar.
Sayang eksperimen dan skenario politik yang berjalan sangat mulus, hasilnya sudah berada di depan mata itu, tiba-tiba menjadi berantakan.
Anies yang menjadi Gubernur DKI. Dialah sekarang yang paling berpeluang menjadi kandidat presiden. Bukan Ahok. Karena itu langkah Anies harus segera dibendung. Potong di tengah jalan.
Ketiga, dari kepentingan para taipan dan pengembang. Pemindahan ibukota membuka peluang para taipan dan pengembang raksasa untuk kembali menguasai lahan di jantung ibukota.
Mereka sudah lama menimbun harta karun. Tinggal menggalinya. Sebagian besar dari mereka sudah menguasai lahan yang akan menjadi ibukota baru.
Di Jakarta lahan sudah habis mereka kapling. Sebagian mulai menggarap daerah pinggiran, seperti Lippo di Karawaci, dan Meikarta. Atau kelompok Ciputra dan Sinar Mas yang menguasai kawasan Serpong.
Tentu hasilnya tidak segurih bila menguasai lahan di jantung ibukota seperti dinikmati kelompok Agung Podomoro, Agung Sedayu, Artha Graha Group Dll.
Bisnis reklamasi yang mereka kembangkan di Pantai Utara Jakarta gagal total. Proyek bernilai ratusan trilyun itu izinnya dibatalkan Anies. Padahal di masa Jokowi dan Ahok semuanya berjalan mulus.
Kemarahan dan kebencian mereka kepada Anies, sampai ke ubun-ubun. Eksperimen politik mereka menguasai Indonesia. Menyatukan penguasaan ekonomi dan politik di satu tangan, gagal di tengah jalan. Keuntungan ratusan trilyun mereka tenggelam pula di laut Utara Jakarta.
Karena itu pemindahan ibukota sudah sangat mendesak. Tak bisa ditunda-tunda lagi. Kompensasi bagi para taipan yang selama ini mendukung Jokowi harus segera ditunaikan.
Seperti pernah disampaikan oleh Ahok saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi tidak akan bisa menjadi presiden, tanpa bantuan pengembang. Jelas itu tidak gratis.
Fakta bahwa pemerintah tidak punya dana cukup dari APBN, itu bukan masalah besar. Justru disitulah kata kuncinya.
Konsorsium para taipan dan pemerintah Cina pasti dengan senang hati menyediakan dananya. Apalagi seperti dikatakan Menteri PPN/kepala Bappenas Bambang Soemantri Brojonegoro pemerintah akan seminimal mungkin menyediakan anggaran untuk pembangunan ibukota baru.
Semuanya mengandalkan swasta, dengan skema availability payment. Swasta yang membangun dan pemerintah sebagai pemilik lahan, menyewa. Setelah masa konsesi selesai selama 20 tahun, gedung itu akan menjadi milik pemerintah.
Skema ini mirip dengan BOT (Build Operate Transfer). Bedanya skema ini lebih pasti. Dana pengembang pasti akan kembali. Pemerintah dipastikan akan menyewanya.
Sementara pada BOT, si pengembang menawarkan sewa ke pihak lain, atau memanfaatkan gedung itu sendiri.
Pengembang mana yang tidak berjingkrak girang mendapat rezeki nomplok semacam itu?
Tapi tunggu dulu. Itu skenario penguasa. Skenario para taipan. Belum tentu bisa terwujud.
Kalau boleh menyarankan. Belajarlah dari Jakarta. Belajarlah dari kekalahan Ahok. Tidak semua skenario yang dirancang dengan sangat sempurna, akan berhasil.
Ada campur tangan “kekuatan” lain. Kekuatan di luar kemampuan manusia. Kekuatan berupa takdir.
Juli 2016 Anies Baswedan dicopot sebagai Mendikbud. Kalau melihat kinerja Anies tak ada alasannya bagi Jokowi mereshufflenya.
Kabarnya justru performance Anies yang mencorong menjadi penyebabnya. Dia menjadi ancaman bagi Jokowi. Matahari kembar.
Kurang dari setahun kemudian, pada April 2017 Anies terpilih menjadi Gubernur DKI. Dengan posisi itu dia malah semakin bersinar terang. Di Jakarta benar-benar muncul dua matahari.
Yang satu di Jalan Merdeka Utara (istana), dan satunya lagi di Jalan Merdeka Selatan (Balaikota DKI).
Jangan-jangan “pemecatan” Anies jilid II dengan cara memindahkan ibukota, justru malah akan membuka takdirnya terpilih menjadi kepala negara.
Tak ada yang pernah tahu perjalanan hidup dan takdir seseorang. Berhati-hati lah. end
Oleh : Hersubeno Arief