Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu
"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
"Duduk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak. (jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut-tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada)
"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu tetap kesana)
"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)
Perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu. Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.
Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu,
Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur....
Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.
Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depanya Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.
Widya, termangu mematung melihat temanya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
"Nur" panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk terasa berdiri ketika memandangnya.
Dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.
Kakinya seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya. Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.
Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya pun menjerit sejadi-jadinya. kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya. Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
"Bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian disini seorang diri)
Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
"Onok opo to nduk?" (ada apa sih nak?) kalimat itu lah yang pertama kali Widya dengar, si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.
Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu. Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.
Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.
Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.
Malam itu, benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu, beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.
Hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.
Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput ?
Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang. Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. Berpagar batu bata merah, dengan ditumbuhi banyak pohon bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.
Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut, setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.
Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih.
Dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
"Monggo" (silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya.
Bersambung.....