"Nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)
Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik,
"Ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)
Kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.
Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita.
Masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah, ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badanya.
Sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya.
Siapa pemilik wajah cantik itu?
Kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati, suaranya, dari luar bilik. tempat Nur berdiri seorang diri. apakah Nur yang sedang berkidung ?
Pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya. Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.
"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?)
Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam. Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.
Listrik di desa ini menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari.
Widya masih teringat kejadian sore tadi. Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam.
Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
"Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar" (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh-
-darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu...
"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
"Guguk aku" (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak. (jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada)
"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu tetap kesana)
"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang) Perdebatan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu....
Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.
Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu,
Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar, ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.
Bersambung ....