Siapapun yang mengamati proses Pemilu (inklud Pilpres) pada tahun 2019 ini, pasti berkesimpulan sama. Pemilu yang brutal, penuh kecurangan, menelan ratusan jiwa korban, menguras anggaran paling mahal, tetapi menghasilkan ketidakpercayaan publik yang begitu tinggi. Sampai-sampai, apapun keputusan yang dikeluarkan KPU pada tanggal 22 Mei nanti pasti akan membelah anak bangsa.
Semua pasangan calon, sejak awal telah mendeklarasikan diri sebagai pemenang kontestasi, meskipun pengumuman KPU belum juga dilakukan. Jokowi, berulangkali mengumumkan kemenangan, Framing mendapat ucapan selamat dari berbagai pimpinan negara, kepala daerah, dan sejumlah ucapan selamat di sosial media, yang menyandarkan kemenangan berdasarkan hitung cepat lembaga survei.
Sementara pasangan Prabowo - Sandi, juga mendeklarasikan kemenangan. Bahkan dengan angka yang cukup signifikan. Bedanya, jika Jokowi mengklaim kemenangan berdasarkan hitung cepat lembaga survei, kubu Prabowo Sandi mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hitung formulir C1, dari beberapa sumber. Setidaknya, info yang beredar kubu BPN Prabowo memiliki 4 (empat) rujukan data kemenangan, yang semua bersumber dari formulir C1.
Secara formal, kedua kubu belum menang karena penghitungan suara oleh KPU belum tuntas. Secara materiil, sumber data kemenangan kubu Prabowo Sandi, lebih otoritatif dan dapat dipertangungjawabkan ketimbang sumber klaim kemenangan kubu Jokowi.
KPU, nantinya akan mengumumkan kemenangan berdasarkan data tabulasi nasional yang sumbernya dari formulir C1. Sama persis dengan sumber yang dirujuk kubu pasangan Prabowo Sandi. Sementara kubu Jokowi, menyandarkan kemenangan dari hasil tebak-tebakan lembaga survei yang sejak awal diketahui publik sebagai lembaga partisan.
Saat ini, mayoritas pemilih yang merasa memilih Prabowo merasa penting untuk terlibat mengawal suara. Jelas, jika dirujuk animo kampanye darat dan udara, semua mengarah pada kesimpulan kemenangan Prabowo Sandi. Karenanya, pengumuman lembaga survei yang memenangkan kubu Jokowi, disinyalir menjadi 'prakondisi' untuk mencurangi hasil Pilpres.
Terbukti, berulang kali terdapat temuan kecurangan temuan publik atas rekapitulasi suara yang oleh KPU diberi nomenklatur 'tak sengaja' atau 'salah input' yang kesemua jumlah data 'salah input dan tak sengaja' ini menguntungkan kubu Jokowi. Banyak temuan data ngawur ini merugikan suara Prabowo Sandi.
Karena itu, kalangan ulama kembali menggagas agenda ijtima' ulama III untuk menyikapi kecurangan yang sifatnya telah memenuhi kreteria terstruktur, sistematis dan massif. Melihat respons KPU dan bawaslu yang terkesan 'abai' nenindaklanjuti temuan, membuat ulama tergerak dan prihatin untuk ikut membahas peraoalan ini.
Sadar kegiatan ini akan merongrong deklarasi kemenangan versi hitung cepat, Moeldoko buru-buru mendelegitimasi forum Ijtima' dengan menyebutnya tak perlu dan tak boleh terjadi. Disisi lain, ulama dan umat tak lagi menghiraukan himbauan rezim. Sikap ulama dan umat, saat ini mirip pada saat menjelang aksi 212.
Ketika itu, rezim mengerahkan media, ulama bayaran, aparat penegak hukum, buzzer dan berbagai pejabat negara untuk mendelegitimasi aksi agar urung dilakukan, nyatanya umat dan ulamanya tetap teguh dan akhirnya sukses menjalankan agenda 212. Hari ini, rezim masih mengambil uslub yang sama agar agenda ijtima' ulama batal dilakukan.
Kekhawatiran rezim bukan pada ijtima' ulamanya saja, tetapi kemungkinan adanya rekomendasi people power untuk melawan kecurangan rezim. Bagi ulama, umat Islam, termasuk kubu Prabowo Sandi, membawa urusan curang ini ke MK sama saja mengubur harapan. MK adalah kuburan politik bagi nasib umat, jika cara ini dipilih untuk menghukum kecurangan rezim.
Sadar opsi people power kemungkinan besar akan diambil oleh ulama dan umat, rezim pun telah menyiapkan deklarasi state in emergency. Dengan pernyataan darurat, rezim bisa menerbitkan Perppu untuk menganulir hasil pemilu, menyatakan pemerintahan transisi, dan menyusun UU pemilu baru untuk dijadikan dasar pemilihan ulang. Saat ini, kedua kubu sedang menghitung kekuatan lawan, dan kapan menggunakan kartu truf untuk mengunci lawan.
Bagi umat, bagi ulama, bagi kubu Prabowo Sandi, people power adalah satu-satunya kartu truf untuk memaksa rezim mengakui kekalahan Pilpres. Sementara bagi rezim, state in emergency adalah senjata akhir, kartu truf yang akan dijadikan manuver pamungkas untuk membungkam geliat gerakan umat.
Ada keadaan yang serba sulit, sehingga kedua kubu menahan diri untuk mengeluarkan kartu truf sambil menghimpun berbagai dukungan dan legitimasi. Salah satunya, belum adanya pengumuman resmi dari KPU tentang hasil pemilu 2019.
Jika rezim memotong arus pergerakan umat dengan mengeluarkan Perppu sebagai bentuk Kegentingan yang memaksa sebelum keputusan KPU diumumkan, maka rezim akan kehilangan legitimasi keadaan genting. Karena umat belum melakukan pergerakan, sementara KPU juga belum memutus persoalan.
Sebaliknya, jika umat mengumumkan aksi people power sebelum pengumuman KPU, boleh jadi rezim akan mendelegitimasi gerakan dengan dalih tidak sabar menunggu keputusan. Namun, jika KPU telah mengumumkan keputusan -padahal keputusan itu menguatkan rencana curang, mengokohkan kemenangan berdasarkan kecurangan- maka ikhtiar people power juga akan kehilangan momentum.
Pilihan yang paling mungkin bagi ulama dan umat, adalah melakukan gerakan people power (jika rencana ini menjadi keputusan akhir forum ijtima ulama) menjelang pengumuman keputusan oleh KPU, bukan setelah pengumuman. Desakan people power ini, akan membimbing KPU untuk memutus perkara secara adil, bijak, dan jujur berdasarkan suara umat yang menghendaki perubahan.
Kartu truf dari ulama dan umat itu, jika rezim merasa memiliki legitimasi dan kepercayaan diri akan disikapi dengan pernyataan negara genting, state in emergency. Perppu akan diterbitkan, dan keadaan menjadi status Quo.
Namun melihat dinamika dan realitas politik kekinian, nampaknya kekuatan umat dan ulama yang akan menjadi pemenangnya. Rezim telah kehilangan legitimasi. Untuk mengeluarkan Perppu sebagai dasar pencabutan BHP HTI saja rezim kelimpungan melawan kritikan publik. Apalagi mau melawan seluruh umat, Seluruh ulama, Seluruh kekuatan politik di kubu Prabowo Sandi.
Dulu rezim menerbitkan Perppu untuk membungkam HTI sendiri saja kerepotan, apalagi menerbitkan Perppu untuk membungkam seluruh umat ? Membungkam mayoritas ulama ? Pasti, jika rezim berani melawan kehendak umat, dipastikan rezim telah siap untuk dikubur sejarah dan dikenang sebagai rezim yang hina dina.
Penulis : Nasrudin Joha