Oleh Jonah Fisher dan Maggie Fox
Kelompok minoritas etnik Rohingya tidak diakui sebagai warga negara oleh Myanmar namun dianggap sebagao pendatang gelap dari Bangladesh walaupun dari generasi ke generasi mereka sudah ada di Rakhine, Myanmar.
Negara itu melancarkan operasi militer di Rakhine dengan dalih memulihkan keamanan sejak terjadi serangan terhadap pos-pos perbatasan yang menewaskan sembilan aparat keamanan Myanmar pada Oktober tahun 2016 lalu.
Di tengah hujan rintik-rintik, puluhan orang berbaris mengantre di depan sebuah mobil van putih. Dua pria sibuk membagikan bingkisan yang terdiri dari beras, minyak goreng, kacang lentil, kentang, garam dan juga terpal.
Kebutuhan pokok itu amat berarti bagi penerima, orang-orang Rohingya yang menyelematkan diri dari kekerasan dan penindasaan di Myanmar, negara asal mereka, yang terletak di seberang Sungai Naf dari Cox's Bazar, wilayah pesisir di wilayah Bangladesh selatan.
"Kalau tidak ada bantuan ini, kami sekeluarga tidak bisa makan. Padahal sekarang Ramadan, jadi susah sekali tanpa makanan mencukupi," tutur Aminah, seorang pengungsi Rohingya asal negara bagian Rakhine, Myanmar.
Ditambahkannya, ia bersama putra-putranya turut mengikuti rombongan tetangga yang melarikan diri Februari lalu karena merasa tidak aman setelah ada operasi militer di Rakhine.
Aminah tinggal di gubuk dadakan di pinggir ladang milik penduduk Bangladesh. Terpal bantuan akan ia gunakan untuk menutupi atap gubuk yang sementara ini hanya terdiri dari dedaunan dan potongan kayu. (Jonah Fisher-BBC)
Suram, kehidupan para pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh |
Pemerkosaan Salah Satu dari Banyak Tragedi yang Dialami Pengungsi Rohingya
Kelompok-kelompok seperti MSF mengatakan bahwa militer Burma menggunakan pemerkosaan sistematis untuk mengusir Muslim negara tersebut, yang dikenal sebagai Muslim Rohingya.
Tragedi yang dialami pengungsi Rohingya sulit didengar dalam keadaan normal, tapi para wanita ingin membicarakannya. Memiliki seorang pendengar yang bisa memberi empati sedikit banyak membantu tragedi yang dialami pengungsi Rohingya, kata Pfeil.
Aerlyn Pfeil tahu tentang pemerkosaan. Dia lama bekerja di Sudan Selatan dan Somalia. Dalam pengamanatanya, salah satu tragedi yang dialami pengungsi Rohingya adalah pemerkosaan. katanya.
Tragedi yang dialami pengungsi Rohingya sulit didengar dalam keadaan normal, tapi para wanita ingin membicarakannya. Memiliki seorang pendengar yang bisa memberi empati sedikit banyak membantu tragedi yang dialami pengungsi Rohingya, kata Pfeil.
“Saya benar-benar terkejut para wanita menceritakan tindakan kekerasan ini, bagi saya ini menunjukkan betapa meluasnya kekerasan,” katanya.
“Bukan rasa malu yang biasa,” tambah Pfeil. Biasanya wanita enggan berbicara tentang diperkosa, atau pernah menyaksikan pemerkosaan, bahkan untuk seorang profesional.
“Wanita-wanita ini tidak memiliki masalah dalam membicarakan apa yang mereka saksikan, apa yang mereka alami,” kata Pfeil.
“Apa yang benar-benar mengejutkan saya adalah bagaimana sudut kecil dari kamp ini mengalami kekerasan yang meluas seperti itu.”
Umur tidak melindungi mereka; Anak-anak dan perempuan tua juga diperkosa. “Saya memiliki saksi dua orang perempuan yang menceritakan saat ditahan selama beberapa hari di salah satu kamp militer dan satu dari mereka sekarang hamil,” kata Pfeil. Pfeil mengatakan ada juga beberapa wanita yang diresapi oleh pemerkosa mencoba melakukan aborsi.
Pfeil pernah merawat satu perempuan yang mengalami pendarahan berat dan keguguran kemudian meninggal.
Kamp-kamp tersebut sangat luas, dan para perempuan sering takut keluar mencari klinik, atau takut jika ada orang akan mengambil barang-barang berharga yang terakhir mereka miliki saat pergi meninggalkan kamp.
Conditions of life for Rohingya refugees living in the camps in Bangladesh are grim. (Mohammad Ghannam/Medecins Sans Frontieres)
Maggie Fox is a senior writer for NBC News and TODAY, covering health policy, science, medical treatments and disease.(edt)