Pro-kontra hasil hitung cepat yang diumumkan sejumlah lembaga riset hanya 3 jam setelah Pilpres 2019 usai, terus berlanjut.
Tuduhan miring masih mengalir ke Denny Januar Ali (Denny JA) dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (Persepi) karena serta-merta menyatakan pasangan 01 Joko Widodo-Maruf Amin pemenang. Orang bayaran yang dipakai untuk memenangkan sang petahana, itu antara lain tudingannya.
Salah seorang yang bersuara keras mengkritik Denny JA dkk. adalah Syahganda Nainggolan. Menjadi salah satu mahasiswa ITB yang dipecat rektornya karena menimpuk Menteri Dalam Negeri Rudini yang sedang berceramah soal Pancasila (P4) di kampus Ganesha tahun pada 5 Agustus 1989, ia kemudian lebih dikenal sebagai aktifis.
Bersama kawan-kawannya ia belakangan hari mendirikan Sabang Merauke Institute (SMI). Saat ini ia menjadi Wakil Direktur Bidang Riset di sana.
Bagaimana sesungguhnya penilaian doktor yang berfokus pada riset tersebut ihwal hitung cepat kemarin yang memicu kontroversi luar biasa ? Berikut ini tuturan dia kepada Nicolaus Tolen dan Winna Wijaya dari Law-justice.

Bagaimana Anda menanggapi hasil quick count yang berbeda kemarin sehingga sampai menyebut-nyebut nama Denny JA ?
Saya sebut Denny JA itu karena kita mengkhawatirkan mereka. Kan mereka propagandis untuk menipu masyarakat…berkonspirasi dengan kekuasaan untuk memfreming kemenangan. Mereka ini tidak pernah bisa diaudit, hanya bersandar pada Persepi (Perhimpunan Survei dan Opini Pulbik Indonesia).
Di Amerika, tahun 2016, ada lembaga lembaga survei yang salah memprediksi kemenangan Hillary Clinton. Namanya Pew Research, salah satu lembaga riset terbesar di dunia. Mareka langsung mengeluarkan 2 ahli senior metodologisnya 1 direktur riset dan 1 lagi direktur operasi. Itu ada di Youtube, bisa dicek.
Mereka melakukan konferensi pers. “Masyarakat Amerika, kami mohon ma’af. Berikan kami waktu untuk mengetahui apa kesalahan kami, apakah kesalahan metodologi…”. Itu November 2016, saat pemilu Amerika Serikat.
Kemudian pada Januari 2017 mereka membentuk tim yang berkolaborasi dengan 7 universitas, termasuk dari Kanada dan Amerika; top-top semua, Juga dengan lembaga survei yang mau untuk membuka datanya.
Enam bulan mereka riset, habis itu baru diumumkan, sekitar bulan Juli 2017. Mereka mengumumkan mengapa gagal sehingga menjagokan Hillary Clinton.
Nah, di Indonesia, kita sudah tahu survei-survei ini sering gagal memprediksi. Di Jakarta, Jabar, dan Jateng saat Pilkada kemarin. Rata-rata deviasi atau jaraknya sekitar 20-an persen. Dan mereka nggak ada sama sekali yang ingin membukanya ke publik.
Beda kalau di Amerika. Bagi publik itu sudah keharusan. Dan di Amerika itu perusahaan survei hampir semuanya perusahaan terbuka. Sehingga terbuka untuk umum. Jadi rakyat bisa akses. Mereka nggak boleh main-main. Ini problemnya di kita.
Berdasarkan itu, berdasarkan info, saya mendapatkan informasi dari orang-orang di sekitar dia (Denny). Saya berkeyakinan bahwa ini tipu-tipu saja. Ini yang saya ungkap kemarin di Bawaslu.
Pernah berkomunkasi dengan Denny soal angka yang diatur untuk memenangkan kliennya ?
Saya tanya, ‘Lu mau buat berapa ini, Den ?’ Saya WA-WA-an (WhatsApp) sama dia. ‘Ya, pokoknya akhirnya ke 60% gitu lho,’ dia bilang begitu. Cuma kan Denny menganggap ecek-ecek; kan dia sudah sanggah itu. Okelah kalau itu ecek-ecek.
Cuma yang jelas, saya hanya ingin rakyat atau universitas mengaudit mereka. Katanya KPU, ya. Kalau bisa lembaga lain juga.
Mereka sudah bilang bisa buka semuanya di KPU…
Saya sudah bilang ke Bawaslu : panggil saja mereka (KPU). Panggil dan minta mereka kasih tahu. Karena saya pernah melakukan survei pada April untuk Pulau Jawa. Seluruh orang yang saya survei itu ada titik GPS-nya, ada nomor teleponnya, ada fotonya.
Jadi kita bisa buka ke masyarakat. Kalau mereka mau konfirmasi orang yang disurvei, itu ada datanya. Lembaga survei ini kan nggak tahu.
Bisa dimanipulasi.
Apa beda quick count dengan survei ? Kan tak sama…
Itu kan karena orang nggak ngerti ilmu ya... quick count survei juga. Survei ini hanya bisa dibedakan dengan sensus. Survei itu bisa di based on sample, sensus based on population. Sensus itu seluruh, itu seperti yang dilakukan oleh BPS [Badan Pusat Statistik]. Seluruh orang diamati. Kalau survei, yang diambil 2 ribu atau 5 ribu. Ada kaidahnya.
Jadi, quick count ada sampelnya. Survei juga demikian. Seharusnya dia sebut survei opini dengan quick count itu berbeda. Bedanya dimana ? Bedanya adalah datanya. Quick count adalah data hasil di TPS, sedangkan yang satu lagi pikiran atau opini orang.
Tapi bukan itu persoalannya. Yang paling penting adalah bagaimana Anda melakukan yang namanya random sampling. Jadi Anda bayangkan: Anda punya 810 ribu TPS. Itu namanya populasi. Anda ambil sampel 2 ribu; seperti Kompas kemarin 2 ribu.
Dia pakai systematic random sampling. Jadi, Anda random. Bagaimana Anda mengambil dengan tepat mengambil 2 ribu sampel. Saya bilang Bawaslu : buka saja, bagaimana mereka merandom, pakai cara apa mereka.
Random itu maksudnya supaya kita itu mendapatkan sampel yang benar-benar bebas dari keinginan kita, obyektif. Pertanyaannya, bagaimana merandom 810 ribu. Apakah dia masukan ke komputer, seperti lotre, dikocok… atau seperti apa. Kita nggak tahu sampai sekarang.
Orangnya bilang multi-stage random sampling. Oke multi-stage. Stage-nya based on apa: desa, kota, atau apa? Kalau yang 810 ribu ini kan yang paling aman. Saya survei kemarin: saya merandomnya di dapil (daerah pemilihan), karena dapilnya hampir homogen atau sama.
Yang paling penting itu homogen. Anda tahu nggak kenapa sampel darah diambil di tangan? Karena seluruh tubuh homogen: mau diambil dimana saja bisa. Diambil di tangan karena urat nadinya gampang dilihat.
Kalau nggak homogen, kita tidak boleh merandom. Random sampling itu kalau sudah homogen. Itu teori-teorinya banyak kalau mereka mau belajar. Tapi mereka nggak ngerti karena doktornya bukan seperti saya.
Kalau saya doktornya memang ahli metodologi kuantitatif. Mereka rata-rata kualitatif penelitianya. Yakin saya. Coba lihat direktur lembaga survei itu. Tamatnya dari mana ? Ilmu politik. Memang ilmu politik ada pelajaran metodologi kuatitatifnya ? Nggak ada.
Menurut mereka, ilmu statistik yang dipakai untuk quick count terbilang paling sederhana…
Tapi faktanya di Amerika lembaga seperti Pew Research itu. Kekayaannya mungkin miliaran dollar AS, bukan lagi lembaga ecek-ecek. Dia membayar ahlinya mahal.
Begitupun bisa salah juga. Jadi orang harus tahu ilmu matematik sama ilmu statistik. Ilmu matematik 2+2 = 4.
Pasti, kan ? Kalau statistik nggak, dia probability (kemungkinan). Probability itu bisa iya atau nggak. Tingkat keyakinan saya 95% dengan margin of error 5%.
Jadi ada 5% kemungkinan salah. Jadi jangan mengklaim itu sebuah kebenaran. Itu kan sebuah asumsi saja...
Kalau dia bilang misalnya itu gampang, itu karena dia nggak ngerti. Kalau ngerti ya justru susah. Kenapa begitu susah waktu kesalahan terjadi di Amerika itu ?
Karena waktu mereka mencari responden, yang didapat kebanyakan orang yang pendidikannya menengah ke atas. Jadi dia itu terlalu banyak mencari responden yang secara umum memang sudah memilih Hillary.
Karena mereka kan punya catatan historis. Mereka sudah tahu siapa yang suka sama Hillary. Dia sudah tahu yang suka sama Trump siapa: pasti buruh-buruh kulit putih yang miskin. Itu yang pro Trump. Belum lagi dari agamanya.
Kalau di sini kan mereka nggak ngerti itu, jadi bilang gampang. Padahal itu di sana akhirnya ditemukan bahwa harusnya tadi jumlah respondennya berimbang. Namanya dalam ilmu statitik weighting, memberikan pembobotan.
Weighting ini kalau salah jumlahnya jadinya tidak homogen. Kalau tidak homogen maka salah juga dalam random tadi.
Dan itu nggak gampang. Orang bilang gampang ya karena nggak ada risiko. Tapi coba kalau seperti di Amerika yang saham-sahamnya turun dari 10 ribu jadi 500. Pasti stress juga. Di kita nggak ada risiko.
Artinya quick count yang dilakukan lembaga survei kita salah ?
Nggak, bukan salah. Quick count ini bisa benar. Syarat ilmunya yang harus dipenuhi. Pertanyaan kita kan sebenarnya: yang melakukan quick count ini lembaga netral atau tidak. Dan kita semua tahu bahwa Denny JA ini adalah orangnya Jokowi.
Kalau di grup WA saya ada Mabitor Suryadi. ‘Ya, terima kasih,’ kata Mabitor: ‘Denny JA sudah mau ngasih duit sama saya yang tengah sulit.’ Kita di grup ini sudah tahu bahwa Denny JA adalah orangnya Jokowi. Kira-kira begitu.
Objektivitas itu dimulai dengan tidak berpihak. Bukan hanya soal ilmunya. Tapi kalau Anda orangnya Jokowi, terus Anda bilang netral, kan susah juga. Padahal ini kan tentang nasib sebuah bangsa. Yang kita quick count itu bisa menggiring. Harusnya KPU itu yang menyelenggarakan sendiri, dia minta universitas juga.
Memang quick count bisa digiring ?
Ya bisalah. Kalau memang niatnya menggiring, pasti menggiring. Sekarang kan, samplingnya 2 ribu, tapi randomnya bagaimana…
Kalau randomnya Anda atur lebih banyak di tempat yang ada pemilih Jokowi, pasti nanti munculnya Jokowi yang menang. Jadi Anda sudah setting nih: 56% Jokowi, 56% dari 2 ribu berapa, katakanalah 1.200. Dan Anda pasti tahu dimana 1.200 yang pro Jokowi. Pasti tahu, kan ada historinya.
Misalkan Jateng, Bali, dan seterusnya. Tinggal Anda bilang saja titiknya dimana, distribusinya begini. Nah, itu yang orang mau tahu. Mana titik tempat Anda melakukan quick count ?
Tapi mereka mengatakan sudah menentukan sampelnya dengan proporsional…
Proporsional terhadap apa ? Misalkan terhadap kabupaten, terhadap provinsi. Itu bisa, dan itu yang mau kita bongkar. Itu boleh. Namanya multi-stage random sampling. Banyak lembaga, saya tidak mau sebutkan namanya, dia punya 2 ribu sampel.
Dia multi-stage proporsional tadi, berdasarkan jumlah apa? Misalnya DPT. Dibagilah 2000 ribu tadi sesuai dengan proporsi DPT.
Yang ada, nggak ada orang bilang berdasarkan survei kami. Ada juga kemarin yang saya lihat itu, Hanta Yudha atau siapa: Prabowo kalah di provinsi ini, itu, dan lain-lain. Padahal dalam teori, kalau mau survei sebuah populasi, Anda harus tentukan unitnya mana. Misalnya Indonesia. Unitnya berapa?
Di Amerika rata-rata 600 responden. Itu sudah ada rumusnya. Sekarang ini sudah canggih, ada kalkulatornya. Namanya kalkulator survei, bisa didownload. Bisa kita tahu margin errornya berapa. Nggak usah pakai rumus-rumus sangat rumit. Masukin aja. Sekarang sudah ada.
Yang salah, dia. Responden 2.000. Di setiap provinsi berapa? Sekitar 70. Kalau 70 Anda nggak boleh bilang itu sudah mewakili provinsi dalam rilisnya. Yang Anda survei itu adalah Indonesia. Anda nggak bisa bilang Banten kalah, Jakarta kalah.
Nggak bisa. Kalau mau bilang Jakarta kalah, Anda main lagi di 600 responden. Jadi 600 x 34. Kalau mau ke kabupaten Anda harus kalikan 400-an, misalnya. Sekitar 20 ribu ke atas baru Anda boleh mengatakan di kabupaten ini Prabowo kalah, dan seterusnya.
Kalau ini kan dia nggak ngerti membedakan antara multi-stage sebagai sebuah metode. Kan ada stratify, simple random sampling, dan cluster random sampling. Orang marketing yang biasa gunakan. Kalau tidak sampai di 400 kabupaten, dia nggak boleh bilang di kabupaten itu si ini kalah. Itu nggak boleh. Multi-stage itu cuma alat.
Jadi, kalau ada yang teriak Prabowo kalah disini, situ, itu nggak bisa. Orang-orang ini kan nggak ngerti. Saya Cuma ketawa saja. Lu kagak ngerti tapi tiap hari muncul di TV, dipakai terus. Tapi mau apa lagi....
Tapi hampir semua lembaga survei termasuk Litbang Kompas menampilkan hasil quick count yang hampir sama…
Ya, kita mau apa ? Kan hanya ada dua, pertama bahwa ini benar, karena hasilnya sama. Anda juga bisa bilang: ‘Oh, karena bandarnya sama.’ Kira-kira begitu. Kan tergantung cara pandang. Ya, kalau Anda curiga, berarti publik harus meminta dia membuka.
Soal sampel. Apakah semakin banyak sampel maka semakin akurat hasilnya ?
Nggak juga. Tapi kalau Anda membandingkan, misalnya yang ada di TV ya, pas dia bandingkan, ‘Oh itu Prabowo bisa juga salah, baru 40% masuk, dia mengklaim 60. Salah, bisa lebih bagus yang ini,’ Itu lebih bodoh lagi. Kalau sudah 40% dia bukan lagi sampel, hampir dekat ke populasi.
Membandingkannya yang sepadan. Misalnya 2.000 ke 5.000. itu boleh dibandingkan. Masa’ membandingkan uang Anda yang 50 ribu dengan uang dia yang 50 juta….kan nggak sebanding. Kalau orang mengerti matematik, statistik, pasti langsung paham. Kalau 40% ada kemungkin pergeserannya berapa persen.
Tapi bukan lagi survei, itu sudah ke real count. Jadi, survei itu sebenarnya harus terbuka terhadap publik untuk dievaluasi. Terbuka pada universitas dan ahli-ahli. Di Indonesia sampai sekarang mereka ini nggak terbuka.
Bayangkan: Denny JA sama Kompas kan saling curiga. Waktu Kompas mengeluarkan angka survei 49% untuk Jokowi, Denny JA berantem sama Kompas.
Bahkan Kompas langsung menyampaikan pernyataan sikap. Antara mereka saja sudah nggak kompak. Nah, kalau terakhir Kompas mirip sama mereka, saya juga nggak ngerti.
Pada survei sebelum Pilpres, Kompas bahkan menyampaikan prediksi bahwa suara Prabowo akan lebih dari Jokowi…
Kita kan ada survei. Yang kita survei kan data. Anda kasih ke Persepi [Perhimpunan Survei dan Opini Pulbik Indonesia] kan? Nah, dalam survei saya, misalkan 49% Jokowi di Pulau Jawa, Prabowo, 42,7%; hampir 43%. Yang undecided masih 8%.
Saya waktu itu disumpah bahwa pokoknya saya nggak bohong, karena saya nggak tahu soal Persepi. Kalau saya ambil doktor, ada promotor ada penguji, ada lembaga ilmiahnya: kampus. Nah, kalau mereka ini [Persepi] kan saya nggak tahu.
Kalau survei saya ini hasilnya 49% untuk Jokowi dan 42,7% atau hampir 43%, untuk Prabowo, selisihnya 6%, sementara yang undecided sekitar 8%.
Lalu ada wartawan tanya, kira-kira mereka yang undecided kemana? Saya jawab: kalau itu penilaian politik. Saya bilang kalau orang sudah 4,5 tahun bekerja, dia mentok di 49%.
Maka kemungkinan dia berhenti di angka itu. Yang kedua, kenapa orang mengatakan belum memutuskan saat ditanya oleh pensurvei. Karena di Indonesia ini, kalau dia oposisi, dia menyembunyikan.
Dia nggak mau diketahui oleh orang. Karena yang survei ini kan dia nggak tahu siapa; lembaga-lembaga itu bisa saja politisasi.
Nah, ini yang membuat saya mengatakan bahwa di Pulau Jawa, saya yakin Jokowi meraih 49%, dan Prabowo isa 51%. Kalau saya yakin sama survei saya, karena saya yakin lebih sempurna dalam random sampling walaupun cuma Pulau Jawa.
Soal Denny JA. Siapa dia sebenarnya menurut Anda ?
Denny JA ini orang oportunis saja. Dia itu aktifis. Pertama, dia memang bagus waktu membawa isu demokrasi dengan lembaga survei. Tapi di Indonesia ini kan, yang saya lihat waktu itu trennya, bisa cari uang banyak. Uangnya besar.
Saya kemarin survei dengan unit populasinya sepulau Jawa itu, dengan 600 responden pakai GPS, saya cuman butuh Rp 50 juta. Kalau Denny JA dan Kawan-kawan mungkin bisa Rp 500 juta. Mungkin ya, coba ditanya.
Kalau kontrak dia yang katanya 43 miliar itu benar nggak ?
Dia kan kontrak MM-an (miliaran) untuk jangka panjang. Angka 43 miliar itu untuk setahun. Kalau saya kan cuma sekali. Kalau mereka itu survei se-Indonesia bisa Rp1 miliar satu kali survei.
Apakah Denny JA pernah menceritakan anggaran setiap kali melakukan survei?
Nggak. Cuma dia selalu bilang ini duitnya kok kecil, waktu kita goda-goda. ‘Lu dapat 43 miliar, Den.’ Dia bilang, ‘Itu mah kecil…’ Angka segitu, 43 miliar, dia bilang malah masih.
Artinya benar angka tersebut?
Nggak tahu. Tapi kemarin dia bantah di media. Dia bilang itu ecek-ecek saja. Dia bilang itu obrolan ecek-ecek. Ya sudah. Tapi kita nggak bisa tahu. Dia bercanda saja.
Kalau soal proyek survei yang ia tawarkan ke Pak Prabowo itu benar ?
Saya nggak tahu. Itu kan dari orangnya Prabowo, nggak bisa saya katakan. Informasinya harus dari dua pihak. Tapi Denny itu di kelompok Jokowi.
Setahu saya, lembaga survei ini kan bukan melakukan survei saja; mereka juga konsultan. Uangnya campur. Nggak tahu bagaimana pembagiannya.
Yang konsultannya ini, kerjanya bagaimana membuat masyarakat yang disurvei sesuai dengan keinginan mereka. Dalam permainan itu, ada yang namanya positive campaign, negative campaign, dan black campaign.
Mereka bilang, “Kami tidak sampai ke black campaign, cuma di positive sama negative.” Tapi kan kita nggak tahu.
Kalau kita lihat tulisannya Denny JA, di sana banyak sekali yang sifatnya SARA. Dalam pengertian menjorok-jorokan Islam agar dibenci orang. Ngeri Denny itu! Seharusnya SARA itu nggak boleh dipancing.
Katanya Anda pernah diajak oleh Denny JA untuk bergabung…
Iya, itu dia bilang tadi ecek-ecek. Dia bilang, “Gan lu ikut gue dong, kita cari duit sama, biar lu kaya. Gue kasian lu miskin terus”. Saya bilang, “Den, gue aktivis idealis, karena saya dikader sama Hariman Siregar. Saya mau jadi aktivis benar, bukan mau jadi seperti ini...”
Bagaimana cerita tentang website Jurdil2019.org yang memenangkan Prabowo? Kementerian Komunikasi dan Informatika, atas saran dari Bawaslu, telah memblokir situs mereka karena diangap menyalahgunakan kewenangan sebagai pengawas pemilu. Alumi ITB kan terlibat di Jurdil2019.org?
Itu kan real count. Mereka menghitung semua TPS. Jadi ini bangsa-bangsa gila, bangsa sakit, bangsa kita ini. Anda bayangkan: kita [di KPU] punya uang Rp 25 triliun. Kalau punya uang sebanyak itu, Anda butuh berapa jam sih untuk mengetahui hasil seluruh Indonesia ini? Lama-nggak, sih? Kan tinggal difoto, lalu dikirim.
Dalam tempo 2 jam setelah dihitung, itu sudah selesai. Karena di Indonesia Timur dia sudah selesai duluan 2 jam, Indonesia Tengah 1 jam. Indonesia Barat saat itu kan tinggal sedikit. Jadi sebenarnya 2 atau 3 jam sudah selesai. Bukan yang harus diumumkan ke publik; itu bisa lama. Di Amerika juga sama, lama.
Di sana logistiknya dibawa pakai helikopter ke sekolah-sekolah. Kalau kita kan logistiknya dibawa ke tempat yang nggak jelas, bisa tiba-tiba malamnya yang di ruko dibawa kabur. Kalau di Amerika dibawa ke gudangnya rumah sakit dan sekolah. Jadi lebih aman dan publik mengawasi sehingga steril.
Kan ada video viral itu yang pindahin logistik malam-malam di Bekasi. Itu dari istrinya Pak Agus Sutomo, yang paling legendaris sebagai Komandan Kopassus. Dia ini yang membantu menantunya Luhut Binsar Pandjaitan yang terkena kasus saat menyerang orang di Lapas Cebongan, Yogjakarta.
Jadi ini pemilu paling brutal! Bukan soal menang atau kalah. Kalau seperti saya sih, nggak ada urusan 01 atau 02 menang. Ya, kalau dia menang benar ya, kita senang juga. Hak dialah kalau dia menang.
Tapi kalau seperti ini kan, pilihan rakyat yang mana kita nggak tahu, karena main curang. Tahun 2014 juga begitu. Sekarang terjadi lagi.
Kamu ini membangun sebuah bangsa atau apa? Kan itu saja. Kalau kita mau menang-menangan, ya gampanglah. Apalagi orang yang berkuasa, gampang banget. Punya instrumen semuanya. Tapi kalau seperti kita pelaku reformasi, sedih saja.
Kalau di luar negeri kan, seperti Jepang, Korea, nggak mampu, ya mundur, bukan cari-cari jabatan. Saya sih gitu prinsipnya. Kalau dia gila kuasa ya, biarin aja. Makanya saya bilang ke kubu Prabowo: biarin aja dia jadi presiden, yang penting nggak usah diakuin.
Tapi kan bisa pecah-belah kalau seperti itu prinsipnya…
Kan kita ini oposisi. Oposisi kan pasti di pihak yang lemah. Masa’ dituduh pencipta hoaks ? Mana mungkin pencipta hoaks itu oposisi…
Mungkin ada, tetapi secara perbandingan sudah nggak normal tuduhan itu. Di seluruh dunia yang menciptakan hoaks itu adalah yang berkuasa, petahana. Masa orang pencipta hoaks adalah orang yang dia kontrol, padahal dia tahu semuanya. Nggak mungkin. Logika anak SD saja sudah tahu, yang menciptakan hoaks itu pemerintah.
Saya kan dekat juga sama Tito [Kapolri Jenderal Tito Karnavian] dan Teten [Tetan Masduki]. Tapi kalau kita melihat mereka ini kok begitu…
Kalau mau berkuasa ya, jangan begitulah. Bahkan Pramono Anung tawarin saya eselon 1, jadi staf khusus Din Syamsuddin. Luhut (Luhut Binsar Panjaitan) malah minta saya jadi staf khusus Presiden bareng Ali Mochtar Ngabalin. Saya sudah sampai di depan ruangan Luhut. Tapi saya masih ragu, jadi nggak jadi.