Lembaga quick count berkonspirasi dengan kekuasaan untuk memfreming kemenangan
Lembaga quick count berkonspirasi dengan kekuasaan untuk memfreming kemenangan

Lembaga quick count berkonspirasi dengan kekuasaan untuk memfreming kemenangan

Syahganda Nainggolan bersuara keras tentang Denny JA dkk. Syahganda merupakan salah satu mahasiswa ITB yang dipecat rektor karena menimpuk Menteri Dalam Negeri Rudini ketika itu



Pernah berkomunkasi dengan Denny soal angka yang diatur untuk memenangkan kliennya ?

Saya tanya, ‘Lu mau buat berapa ini, Den ?’ Saya WA-WA-an (WhatsApp) sama dia. ‘Ya, pokoknya akhirnya ke 60% gitu lho,’ dia bilang begitu. Cuma kan Denny menganggap ecek-ecek; kan dia sudah sanggah itu. Okelah kalau itu ecek-ecek.

Cuma yang jelas, saya hanya ingin rakyat atau universitas mengaudit mereka. Katanya KPU, ya. Kalau bisa lembaga lain juga.

Mereka sudah bilang bisa buka semuanya di KPU…

Saya sudah bilang ke Bawaslu : panggil saja mereka (KPU). Panggil dan minta mereka kasih tahu. Karena saya pernah melakukan survei pada April untuk Pulau Jawa. Seluruh orang yang saya survei itu ada titik GPS-nya, ada nomor teleponnya, ada fotonya.

Jadi kita bisa buka ke masyarakat. Kalau mereka mau konfirmasi orang yang disurvei, itu ada datanya. Lembaga survei ini kan nggak tahu.

Bisa dimanipulasi.

Apa beda quick count dengan survei ? Kan tak sama…

Itu kan karena orang nggak ngerti ilmu ya... quick count survei juga. Survei ini hanya bisa dibedakan dengan sensus. Survei itu bisa di based on sample, sensus based on population. Sensus itu seluruh, itu seperti yang dilakukan oleh BPS [Badan Pusat Statistik]. Seluruh orang diamati. Kalau survei, yang diambil 2 ribu atau 5 ribu. Ada kaidahnya.

Jadi, quick count ada sampelnya. Survei juga demikian. Seharusnya dia sebut survei opini dengan quick count itu berbeda. Bedanya dimana ? Bedanya adalah datanya. Quick count adalah data hasil di TPS, sedangkan yang satu lagi pikiran atau opini orang.

Tapi bukan itu persoalannya. Yang paling penting adalah bagaimana Anda melakukan yang namanya random sampling. Jadi Anda bayangkan: Anda punya 810 ribu TPS. Itu namanya populasi. Anda ambil sampel 2 ribu; seperti Kompas kemarin 2 ribu.

Dia pakai systematic random sampling. Jadi, Anda random. Bagaimana Anda mengambil dengan tepat mengambil 2 ribu sampel. Saya bilang Bawaslu : buka saja, bagaimana mereka merandom, pakai cara apa mereka.

Random itu maksudnya supaya kita itu mendapatkan sampel yang benar-benar bebas dari keinginan kita, obyektif. Pertanyaannya, bagaimana merandom 810 ribu. Apakah dia masukan ke komputer, seperti lotre, dikocok… atau seperti apa. Kita nggak tahu sampai sekarang.

Orangnya bilang multi-stage random sampling. Oke multi-stage. Stage-nya based on apa: desa, kota, atau apa? Kalau yang 810 ribu ini kan yang paling aman. Saya survei kemarin: saya merandomnya di dapil (daerah pemilihan), karena dapilnya hampir homogen atau sama.

Yang paling penting itu homogen. Anda tahu nggak kenapa sampel darah diambil di tangan? Karena seluruh tubuh homogen: mau diambil dimana saja bisa. Diambil di tangan karena urat nadinya gampang dilihat.

Kalau nggak homogen, kita tidak boleh merandom. Random sampling itu kalau sudah homogen. Itu teori-teorinya banyak kalau mereka mau belajar. Tapi mereka nggak ngerti karena doktornya bukan seperti saya.

Kalau saya doktornya memang ahli metodologi kuantitatif. Mereka rata-rata kualitatif penelitianya. Yakin saya. Coba lihat direktur lembaga survei itu. Tamatnya dari mana ? Ilmu politik. Memang ilmu politik ada pelajaran metodologi kuatitatifnya ? Nggak ada.

Menurut mereka, ilmu statistik yang dipakai untuk quick count terbilang paling sederhana…

Tapi faktanya di Amerika lembaga seperti Pew Research itu. Kekayaannya mungkin miliaran dollar AS, bukan lagi lembaga ecek-ecek. Dia membayar ahlinya mahal.

Begitupun bisa salah juga. Jadi orang harus tahu ilmu matematik sama ilmu statistik. Ilmu matematik 2+2 = 4.

Pasti, kan ? Kalau statistik nggak, dia probability (kemungkinan). Probability itu bisa iya atau nggak. Tingkat keyakinan saya 95% dengan margin of error 5%.

Jadi ada 5% kemungkinan salah. Jadi jangan mengklaim itu sebuah kebenaran. Itu kan sebuah asumsi saja...

Kalau dia bilang misalnya itu gampang, itu karena dia nggak ngerti. Kalau ngerti ya justru susah. Kenapa begitu susah waktu kesalahan terjadi di Amerika itu ?

Karena waktu mereka mencari responden, yang didapat kebanyakan orang yang pendidikannya menengah ke atas. Jadi dia itu terlalu banyak mencari responden yang secara umum memang sudah memilih Hillary.

Karena mereka kan punya catatan historis. Mereka sudah tahu siapa yang suka sama Hillary. Dia sudah tahu yang suka sama Trump siapa: pasti buruh-buruh kulit putih yang miskin. Itu yang pro Trump. Belum lagi dari agamanya.

Kalau di sini kan mereka nggak ngerti itu, jadi bilang gampang. Padahal itu di sana akhirnya ditemukan bahwa harusnya tadi jumlah respondennya berimbang. Namanya dalam ilmu statitik weighting, memberikan pembobotan.

Weighting ini kalau salah jumlahnya jadinya tidak homogen. Kalau tidak homogen maka salah juga dalam random tadi.

Dan itu nggak gampang. Orang bilang gampang ya karena nggak ada risiko. Tapi coba kalau seperti di Amerika yang saham-sahamnya turun dari 10 ribu jadi 500. Pasti stress juga. Di kita nggak ada risiko.

  12
Pilih sistem komentar sesuai akun anda ▼
Blogger

No comments

» Komentar anda sangat berguna untuk peningkatan mutu artikel
» Terima kasih bagi yang sudah menulis komentar.