Artikel ini cukup panjang, oleh karena itu kami bagi dalam beberapa bagian agar tak bosan dibaca dan tersampaikan maksud dari penulisan ceritanya..
Perusahaan pinjaman online terus tumbuh kendati pemerintah semakin banyak membekukan aplikasi ilegal. Intimidasi dan bunga pinjaman gila-gilaan.
JARILANGIT.COM - Otoritas Jasa Keuangan merilis daftar panjang perusahaan pinjaman online yang beroperasi di Indonesia secara ilegal. Dalam pengumuman OJK pada 28 April 2019, ada 144 aplikasi pinjaman online dengan kategori terlarang karena tak memiliki izin. Jumlah ini menggenapi aplikasi pinjaman terlarang tahun ini sebanyak 543.
Angka dalam triwulan pertama 2019 itu jauh lebih banyak dibanding jumlah aplikasi pinjaman online terlarang yang dibekukan selama 2018, yang hanya 404 perusahaan. “Mereka menyasar masyarakat yang sedang butuh uang cepat,” kata Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing kepada Tempo.
Ada pelbagai cara aplikasi pinjaman online menyasar calon nasabahnya. Dengan akses Internet hingga pelosok dan pertumbuhan kepemilikan telepon seluler yang naik terus tiap tahun, perusahaan-perusahaan gelap itu memasarkan tawaran pinjaman melalui iklan di pelbagai situs resmi. Seperti Vloan, merek pinjaman online milik PT Vcard Technology Indonesia.
Vloan menjaring calon konsumen dengan memasang iklan di laman pencarian Google. Dengan kata kunci “pinjaman online”, para peselancar Internet di Indonesia akan terantuk pada situs-situs yang menjelaskan pinjaman Vloan dan terhubung ke aplikasi mereka. Soalnya, Vloan tak hanya satu jenis. PT Vcard memasang banyak jenis pinjaman Vloan: Supercash, Rupiah Cash, Super Dana, Pinjaman Plus, Super Dompet, dan Super Pinjaman.
Iklannya menggiurkan bagi mereka yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi dan sedang butuh uang: pinjaman online tanpa agunan, 30 menit uang cair. Syaratnya hanya mengunduh aplikasi di toko digital Android. Nasabah harus menyetujui semua aturan Vloan saat mengunduh aplikasi itu.
Setelah klik setuju persyaratan, seluruh data nasabah di telepon selulernya akan disedot oleh aplikasi tersebut. Nasabah harus menuliskan nama sesuai Kartu tanda Penduduk (KTP), Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, alamat, nomor rekening bank, pekerjaan, tanda pengenal, tempat bekerja, serta swafoto dengan memegang KTP dan lima nomor telepon darurat yang bisa dihubungi.
Setelah itu uang memang cair: pinjaman kecil antara Rp 600.000 hingga Rp 1,2 juta dengan masa pengembalian 7-14 hari. Nominal uang yang diterima nasabah tak persis seperti tertera dalam jumlah pinjaman yang mereka ajukan. Vloan memotong biaya administrasi sebesar 10-17 persen dari jumlah pinjaman.
Jika nasabah meminjam Rp 1.000.000, Vloan akan mengirim Rp 825.000, Rp 875.000 atau Rp 900.000. Jumlah yang berbeda-beda ini hanya diketahui alasannya oleh manajemen Vloan dengan alasan persetujuan kredit berdasarkan penilaian mereka.
Tahap-tahap ini seperti tak menyimpan masalah. Masalah muncul begitu uang sudah ditransfer ke rekening nasabah. Bunga 1,5 persen per hari tanpa jelas batas denda dari nominal maupun waktunya. Akibatnya, ketika nasabah telat membayar dari jangka waktu 7-14 hari, para penagih utang meneror mereka secara semena-mena.
Seperti dituturkan Indra Sucipto, penagih utang Vloan, intimidasi adalah salah satu cara para penagih utang perusahaan pinjaman online mendapatkan kembali uang mereka. Indra dan para penagih utang mendapat target pembayaran utang dua nasabah per orang per hari. “Faktanya kami hanya dapat lima tiap pekan,” kata Indra, 31 tahun, lulusan diploma perhotelan sebuah universitas di Jakarta.
Nasabah Vloan umumnya tak membayar tepat waktu. Mereka menunggak atau membayar lebih dari 14 hari kerja. Sementara para penagih seperti Indra harus memastikan mereka membayar sesuai perjanjian awal. Dikejar target yang tinggi, Indra dan teman-temannya melancarkan jurus intimidasi.
Bagi nasabah yang tak membayar dalam tenggang 15-30 hari, Indra akan menghubungi nomor teman-teman nasabah yang menunggak itu. Kepada para kolega nasabah itu ia menceritakan bahwa teman mereka punya utang yang belum dibayar dan pinjamannya sudah jatuh tempo. Bagi mereka yang belum membayar lebih dari 30 hari, Indra akan membuatkan grup WhatsApp dengan mengundang teman-teman si nasabah sebagai anggotanya, bahkan atasan mereka di kantor.
Ke grup percakapan itu, Indra mengirimkan foto-foto si nasabah. Jika ada foto-foto berbau pornografi, Indra juga mengirimkannya. Penagih utang lain akan mengompori dengan kalimat-kalimat pelecehan untuk membuat si nasabah semakin kalut. “Soalnya saya susah mendapat respons saat penagihan,” katanya.
Nomor telepon kerabat, teman, keluarga, hingga atasan nasabah tersebut diperoleh Indra dan para penagih utang dari aplikasi yang sudah menyedot semua isi telepon seluler nasabah saat mendaftar. “Sekarang saya menyesal,” kata Indra, di rumah penjara Salemba, Jakarta Pusat.
Indra dan tiga penagih utang Vloan ditangkap polisi beturut-turut pada akhir 2018 karena dilaporkan nasabah yang mendapat teror mereka. Indra ditangkap di Pejompongan, Jakarta Pusat, dan digelandang ke kantor polisi. Ia dan teman-temannya dijerat pelanggaran pasal pornografi dan pencemaran nama baik yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta dan pelanggaran informasi dan transaksi elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dua pekan setelah Indra dicokok, OJK mengumumkan bahwa PT Vcard Technology Indonesia dan aplikasi Vloan adalah produk teknologi keuangan digital ilegal karena tak punya izin.
PERUSAHAAN pinjaman online mulai marak pada 2016, setelah pemerintah Cina mengatur industri keuangan digital dan mengawasi aliran pinjaman. Ribuan perusahaan pinjaman online orang-ke-orang (peer-to-peer lending) tutup karena pindah ke luar Tiongkok. Dalam risetnya pada 30 Juni 2018, Fintech Risk Analytic Platform Cina menyebutkan jumlah aplikasi pinjaman turun 65 persen menjadi 2.114 platform setelah regulasi itu.
Selain pindah ke lain negara yang belum mengatur soal pinjaman melalui aplikasi itu, perusahaan teknologi keuangan Cina tutup karena dibekukan pemerintah karena tak berizin dan dibobol oleh karyawannya sendiri. Sisanya tutup karena tak mendapat investor baru dan tingginya angka gagal bayar nasabah.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan Indonesia menjadi pasar baru pinjaman online setelah regulasi pemerintah Cina itu. Selain karena belum ketat aturannya, perusahaan Cina memanfaatkan budaya gotong-royong orang Indonesia yang cocok dengan model bisnis pinjaman mikro. “Sejak Maret 2018, perusahaan yang mendaftar ke OJK terus naik,” katanya.
Perusahaan yang langsung mempraktikkan bisnis mereka jauh lebih banyak ketimbang yang mau repot mengurus izin. Dengan modal besar, mereka merekrut para pegawai dengan iming-iming gaji besar perusahaan rintisan (start-up) digital. “Saya sampai lupa mengecek legalitas Vloan saat wawancara kerja,” kata Indra Sucipto.
Ia melamar menjadi karyawan Vloan yang baru buka di Kembangan, Jakarta Barat, pada akhir 2017. Sebagai mantan pegawai industri keuangan, Indra sebetulnya paham perusahaan keuangan wajib punya izin dari OJK. “Saya percaya saja ketika mereka bilang sudah punya izin,” katanya.
Indra tak mengecek-silang pengakuan Direktur PT Vcard yang mewawancarainya. Padahal hanya butuh dua menit untuk memverifikasi legalitas sebuah perusahaan teknologi keuangan di web ojk.go.id.
Indra menemukan lowongan sebagai penagih utang PT Vcard di situs pencarian kerja Jobstreet. Tugasnya memastikan nasabah Vloan membayar utang setelah jatuh tempo. Ia bertemu langsung Clief alias Jei Wei yang mewawancarainya. “Bahasa Indonesianya tidak lancar,” kata Indra.
Dari penelusuran OJK, server aplikasi Vloan berada di Zheijang, Cina, dengan hosting server di Arizona dan New York, Amerika Serikat. “Dari laporan yang kami terima, ada 30 nasabah Vloan yang mendapat intimidasi penagihan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo.
Tongam L. Tobing menambahkan hampir semua perusahaan pinjaman online ilegal yang sudah dilarang punya modus sama saat menagih utang kepada konsumen. Karena umumnya nasabah pinjaman online adalah orang yang kepepet mendapat uang dan tak paham produk keuangan secara baik, mereka menurut saja ketika dijerat dengan syarat dan ketentuan tak masuk akal.
Soal bunga dan biaya administrasi, misalnya. Menurut Tongam, sebagian besar nasabah tak mengecek tingkat bunga yang dikenakan perusahaan peminjam, apalagi mengetahui batas bunga maksimal yang diizinkan OJK. Juga ketentuan denda dari nilai pokok pinjaman.
OJK telah mengatur bunga pinjaman online maksimal 0,8 persen per hari dan akumulasi denda maksimal 100 persen dari nilai pokok. Menurut Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah, perusahaan keuangan digital ilegal mematok bunga lebih dari 1,5 persen per hari dan tidak menerapkan batas pemberian denda. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyebutnya “rentenir online”
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendapat aduan lebih banyak lagi. Hingga awal tahun ini ada 2.900 aduan nasabah pinjaman online yang mengeluhkan cara-cara pengajuan dan jeratan bunga yang tiba-tiba menggunung. “Ada penagih yang bilang ke peminjam: sudah deh saya beli kamu saja, kamu tari telanjang nanti utangmu saya anggap lunas,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Silvia Sari.
Masalahnya adalah OJK kesulitan mendeteksi aplikasi pinjaman online ilegal baru karena perkembangan teknologi yang masif dan tak terawasi mata pemerintah. Tawaran pinjaman online banyak ditemukan di web dan toko Android. “Sekarang mulai merambah ke Instagram karena pemakainya sedang tumbuh,” kata Tongam.
Setelah OJK menemukan situs keuangan digital ilegal pun mereka kesulitan membekukannya. Tak seperti pornografi yang bisa terdeteksi dengan cepat lewat kata kunci, produk pinjaman online tak tertangkap dengan mudah karena memakai kata kunci umum seperti pendidikan (education), penggalangan dana (charity), pelatihan (training).
Hal lain adalah perbedaan web dengan aplikasi. Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi Samuel Abrijani Pangerapan lebih mudah membekukan situs web daripada menutup aplikasi. "Menyetop aplikasi di PlayStore dan AppStore harus dengan laporan, belum bisa otomatis,” kata dia.
Apalagi, seperti Vloan, server dan hosting aplikasi-aplikasi tersebut berada di luar yuridiksi Indonesia. Dari 947 aplikasi yang dibekukan, 40 persen berasal dari lokasi yang tidak terdeteksi (unknown location), 18 persen dari Indonesia, 15 persen dari Amerika Serikat, dan sisanya dari Singapura dan Cina.
Hendrikus Passagi memperkirakan bisnis pinjaman online akan tumbuh semakin besar di Indonesia karena dua hal: mirip dengan budaya Indonesia, yakni pendanaan gotong royong; dan banyak usaha mikro yang tak bisa mengakses pinjaman ke bank. “Tukang bakso pinjam Rp 50 juta yang biayai 100 orang,” ujar dia.
Menurut Hendrikus, pelanggaran keuangan tak hanya dilakukan aplikasi keuangan digital ilegal, melainkan juga perusahaan legal. Banyak temuan di OJK, kata Hendrikus, perusahaan yang mendaftar mengelabui jumlah setoran modal kendati memenuhi persyaratan administrasi secara lengkap. “Saya pernah mencabut izin sebuah perusahaan yang menunjukkan bukti setoran modal Rp 850 juta,” katanya. “Setelah dicek ternyata itu perusahaan cangkang yang aset di negara asalnya hanya US$ 100.”
Perusahaan lain menyertakan nomine komisaris dan direksi lokal. Setelah OJK mengecek dan mewawancarai nama-nama direksi, mereka tak paham bisnis keuangan digital bahkan tak mengetahui bisnis perusahaannya sendiri. “Mereka hanya boneka saja,” kata Hendrikus.
Menurut dia, regulasi keuangan digital harus diatur secara ketat agar peluang bisnis ini tak dimanfaatkan menjadi ajang pencucian uang bisnis gelap semacam penjualan narkoba atau judi. Dengan sifatnya yang lintas batas, uang bisnis gelap dari negara lain akan tercuci menjadi halal setelah disamarkan dalam bentuk investigasi start-up aplikasi pinjaman online. Soal lain: kerja sama dengan platform digital yang menjadi pintu masuk ke nasabah.
Juru Bicara Google Indonesia Jason Tedjasukmana enggan mengomentari peluang penggunaan sistem deteksi untuk aplikasi teknologi keuangan digital baru yang masuk ekosistem Google. Jason menuturkan semua aplikasi yang melanggar kebijakan perusahaan dan peraturan pemerintah akan dihapus dari PlayStore. Tapi setelah diusulkan pemerintah. “Menjaga keamanan pengguna adalah prioritas utama kami,” kata dia.
Cara berpikir Jason dari Google ini membuat anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengernyitkan dahi. Menurut dia, seharusnya pemerintah bisa meminta Google menciptakan sistem deteksi dini terhadap perusahaan yang tak bisa menyertakan bukti izin OJK dari Google sebelum masuk ke sistem mereka. “Konten porno dan terorisme bisa dideteksi, masak fintech tidak bisa?” katanya.
Menurut Alamsyah, perusahaan teknologi keuangan ilegal akan tumbuh selama pemerintah tidak memiliki kedaulatan digital. Dia ingin pemerintah membuat protokol yang jelas mengingat bisnis keuangan digital terus naik angkanya, dengan mengajak Google dan para pelaku digital bekerja sama membuat ekosistem keuangan digital yang sehat.
Dari 99 perusahaan yang berizin saja, kata Alamsyah, mereka telah menyalurkan kredit mikro Rp 25,9 triliun kepada 5,2 juta nasabah, hampir separuh penduduk Jakarta. “Kita tidak tahu berapa uang yang disalurkan perusahaan yang ilegal,” kata dia.
Terjebak Pinjaman Online
Para nasabah masuk jerat perusahaan pinjaman online karena mudah mendapat utang. Denda membuat utang membengkak sepuluh kali lipat.
Setelah suaminya menganggur pertengahan 2018, Susi Suharti harus putar otak lebih keras menutup beban keuangan rumah tangga. Penghasilan suaminya yang bekerja penuh waktu menjadi penarik ojek aplikasi tak lagi sama dibanding ketika ia masih bekerja dengan gaji tetap sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor.
Sebulan-dua bulan, tabungannya masih cukup memenuhi kebutuhan makan mereka bertiga. Tapi di bulan ketiga, tagihan listrik, jajan dan ongkos anak semata wayang mereka yang duduk di bangku SMA, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tak terencanakan datang bertubi-tubi.
Susi pun mengeluhkan problem domestik itu ke beberapa teman di pekerjaannya. Seorang teman menyarankan ia mengajukan pinjaman ke perusahaan pinjaman online. Si teman menyarankan mengunduh aplikasi Dana Flash karena pencairan uangnya cepat.
Setelah menimbang-nimbang, Susi mulai tergoda dengan saran itu. Karyawan perusahaan penyelenggara acara bergaji Rp 3,5 juta ini bulat mengajukan pinjaman pada 8 Agustus 2018. “Syaratnya memang mudah,” kata Susi, 44 tahun, yang minta namanya disamarkan, pada 27 April 2019.
Permintaan itu berkaitan dengan teror dan aib yang ia hadapi di depan keluarga besarnya. Susi mengajukan utang Rp 1 juta. Setelah dipotong biaya administrasi, beban biaya bunga, dan biaya jasa, uang yang masuk ke rekeningnya di BRI sebesar Rp 622 ribu. Ia meminjam untuk tenggang 22 hari. Celaka. Gajinya tak bersisa ketika utangnya jatuh tempo. Susi menunggak.
Kepada penagih utangnya, ia meminta waktu sampai gajian berikutnya. Tapi pada hari ke-9, tiba-tiba nomornya berada dalam satu grup WhatsApp asing yang dibuat nomor tak dikenal. Nama grupnya “Hutang Ibu Susi”. Anggotanya adik dan kakak iparnya, juga atasannya. “Di grup itu saya disebut melarikan uang perusahaan,” katanya. “Saya down banget, malu sekali.”
Tidak hanya satu grup rupanya. Penagih Dana Flash membuat grup lain yang tak menyertakan Susi. Di grup itu, para penagih menceritakan aib-aib Susi yang mereka peroleh dari nomor teleponnya. “Saya diberi tahu teman isi percakapan di grup itu,” katanya.
Susi pun marah tapi tidak bisa berbuat banyak. Ia bertekad tak akan membayar utangnya yang jatuh tempo sebelum para penagih Dana Flash mengembalikan nama baiknya. Akibatnya, utang Susi kini sudah membengkak hingga Rp 7,5 juta. Meski Otoritas Jasa Keuangan sudah membekukan aplikasi ini, Susi masih mendapat tagihan utang dengan angka yang terus naik. “Saya baru tahu mereka ilegal setelah cek ke OJK dan baca berita,” katanya.
Intimidasi saat penagihan utang pinjaman online juga dialami Abidah. Perempuan 36 tahun ini pun meminta nama aslinya disamarkan karena data-data pribadinya diungkap penagih utang di grup beranggotakan keluarga dan teman-temannya. Abidah meminjam Rp 2 juta ke aplikasi Rupiah Now dengan waktu pengembalian 20 hari. Uang ia terima Rp 1.650.000 tapi harus mengembalikan Rp 2.300.000.
Seperti Dana Flash, kata Abidah, aplikasi Rupiah Now juga tak menyebut dengan jelas denda jika ia menunggak bayar. Belakangan baru ia tahu dendanya Rp 150 ribu per hari. “Pantas, tiap hari utang saya bertambah besar,” katanya. Dalam sebulan utangnya bertambah Rp 4 juta.
Abidah mencari utang untuk menutupi kebutuhan keluarganya sejak suaminya mundur dari pekerjaan. Saat ini suami Abidah bekerja serabutan. Dengan gaji Rp 3,8 juta dari pekerjaannya sebagai penjaga toko di pusat perbelanjaan, Abidah harus menanggung kebutuhan tiga anaknya.
OJK telah membekukan dua aplikasi pinjaman online itu karena tak berizin. Kantornya juga sudah tutup. Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Forum Komunikasi Korban Rentenir Online (Kobar) Wiki Pradola mengatakan intimidasi penagihan paling banyak dikeluhkan nasabah pinjaman online. Dari 975 aduan yang masuk ke Kobar, mayoritas soal perisakan dunia maya ini.
Menurut Wiki, pembekuan aplikasi pinjaman online tak selalu efektif. Dari penelusuran Wiki, aplikasi yang dibekukan OJK muncul kembali dengan nama berbeda. “Saat nasabah aplikasi lama log-in di aplikasi baru mereka dinyatakan sudah terdaftar,” katanya. Ia berharap OJK punya sistem mencegah aplikasi ilegal muncul tiap saat.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengatakan jumlah aplikasi ilegal terus naik. Lembaganya tak bisa membendung dan memilih memberikan edukasi keuangan kepada masyarakat agar tak menjadi korban. Selain itu terus mengejar aplikasi ilegal untuk dibekukan.
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih tak setuju aplikasi pinjaman online lancung dengan sebutan “fintech ilegal”. Sebab, menurut dia, praktik perusahaan tak berizin itu bentuk kejahatan keuangan melalui aplikasi digital”. “Yang ilegal bukan layanan karena mereka menjebak,” katanya. “Mereka mencari orang lemah yang sedang kesulitan lalu dijebak, ini pemerasan.”
Wawancara
Tongam L. Tobing, Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi:
Belum Ada Jerat Pidana Fintech Ilegal
Pemerintah sudah mengendus modus fintech ilegal. Lolos karena belum ada jerat hukum untuk mereka yang jahat.
Di Indonesia, industri pinjam-meminjam uang melalui aplikasi dan web baru dua tahun. Pemerintah baru mengaturnya melalui peraturan Otoritas Jasa Keuangan, yang belum menyertakan jerat pidana untuk mereka yang sejak awal berniat jahat mengeruk untung melalui aplikasi ilegal.
Tingginya penetrasi Internet di Indonesia, dan tumbuhnya kepemilikan telepon seluler, dus belum meratanya akses pengusaha kecil ke perbankan, membuat perusahaan aplikasi ilegal merajalela. Indonesia menjadi pasar besar pinjaman online setelah Cina dan India. Budaya gotong-royong orang Indonesia juga turut menopang ekosistem pinjam-pinjam antar orang ini.
Hampir tiap triwulan, Satuan Tugas Waspada Investasi mengumumkan daftar perusahaan aplikasi pinjaman ilegal ke masyarakat. Paralel dengan itu jumlah perusahaan yang mengajukan mendapat izin pun terus tumbuh. “Ini bisnis dengan pasar yang besar,” kata Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L. Tobing kepada Ali Nur Hidayat dari Tempo melalui jawaban tertulis pada 30 April 2019.
Satgas Waspada Investasi merupakan satuan yang beranggotakan tujuh lembaga negara, seperti OJK, Kementerian Informasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kejaksaan Agung, dan polisi. Dibentuk pada 2016, satuan ini bertugas mencegah dan menindak penyelewengan hukum dan jasa penghimpunan dana masyarakat.
Seperti apa modus aplikasi pinjaman online ilegal menjerat konsumen?
Mudah membuat aplikasi peer-to-peer lending yang ditawarkan melalui Google Play Store, link unduh yang ditampilkan dalam situs atau SMS. Potensi pasarnya juga besar, karena masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses kredit dari bank dan membutuhkan pinjaman yang mudah dan cepat.
Ada niat jahat dari perusahaan yang ilegal dilihat dari modusnya: tidak terdaftar di OJK, bunga pinjaman tidak jelas, penyebaran data pribadi peminjam, tata cara penagihan kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan; memfitnah, mengancam hingga pelecehan seksual, juga ada kasus penagihan sebelum batas waktu. Alamat peminjaman tidak jelas dan berganti nama. Pelaku ilegal tidak hanya memakai Google PlayStore, tapi juga link unduh melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.
Ada modus lain?
Kejahatan fintech (financial technology) ilegal sangat merugikan masyarakat dan industri fintech lending di Indonesia, karena tidak ada perlindungan konsumen. Mereka mengelabuhi masyarakat dengan memakai nama yang mirip dengan fintech yang sudah terdaftar atau berizin dari OJK. Mereka juga menyebar data pribadi peminjam dan teror saat penagihan.
Sudah berapa banyak fintech ilegal yang masuk pengadilan?
Saat ini telah ada kasus fintech ilegal yang masuk proses penegakan hukum, antara lain VLoan. Polri juga telah melakukan proses penyidikan berdasarkan laporan pengaduan dari masyarakat dan Laporan Informasi dari Satgas Waspada Investasi. Satgas waspada investasi sangat mengharapkan peran serta masyarakat untuk melapor kepada polisi apabila merasa dirugikan oleh fintech ilegal ini.
Apa kebijakan pemerintah mencegah fintech ilegal?
Kami sudah berkoordinasi dengan Google untuk mencegah fintech ilegal masuk melalui PlayStore/AppStore. Namun, Google punya kebijakan tidak melarang inovasi, sehingga semua pihak bisa mengunggah aplikasi, kecuali aplikasi itu melanggar ketentuan Google Play Store di antaranya pornografi, virus, dan lain-lain. Selain itu, pembuatan aplikasi tidak dapat dihentikan karena mereka bisa mengelabui aplikasi yang diunggah dengan memasukkannya ke kategori training, pendidikan, dan lain-lain. Jumlah aplikasi yang diunggah juga cukup banyak, sehingga Google tidak bisa memeriksa satu per satu apakah aplikasi tersebut kontennya sesuai dengan ketentuan yang diatur tiap negara.
Untuk pencegahan dini, OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama melakukan crawling data dari internet untuk menemukan aplikasi yang diduga menawarkan jasa fintech peer-to-peer lending ilegal. Selanjutnya, OJK mengajukan pemblokiran kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Tetapi yang paling penting dalam penanganan fintech ilegal ini tindakan preventif berupa edukasi dan sosialisasi ke masyarakat agar hanya menggunakan fintech legal.
Apa hukuman buat pelaku fintech ilegal?
Saat ini belum ada undang-undang yang mengatur fintech. Fintech lending diatur dalam POJK Nomor 77/2016 yang mengatur pengawasan fintech terdaftar di OJK. Ketentuan ini tidak mengatur pidana. Satgas Wspada Investasi melakukan beberapa tindakan pencegahan hingga penindakan hukum dengan cara:
- Mengumumkan fintech peer-to-peer lending ilegal kepada masyarakat.
b. Mengajukan blokir situs web dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
c. Memutus akses keuangan dari fintech peer-to-peer lending ilegal, dengan cara:
- Menyampaikan himbauan kepada perbankan untuk menolak pembukaan rekening tanpa rekomendasi OJK dan melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang diduga digunakan untuk kegiatan fintech peer-to-peer lending ilegal.
- Meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech payment system memfasilitasi fintech peer-to-peer lending ilegal.
- Menyampaikan laporan informasi kepada Badan Reserse dan Kriminal Polri untuk penegakan hukum.
e. Meningkatkan peran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) untuk penanganan fintech peer-to-peer lending ilegal.
f. Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara berkelanjutan untuk menggunakan fintech peer-to-peer lending yang legal.
Kami mendorong pembentukan undang-undang tentang fintech yang salah satu pasalnya mengatur bahwa fintech ilegal merupakan perbuatan pidana.
Dari mana saja fintech ilegal ini?
Sekitar 40 persen atau 323 (tiga ratus tiga) fintech peer-to-peer lending ilegal tidak diketahui lokasinya sehingga tidak dapat lagi diakses. Hal ini disebabkan aplikasi atau situs yang digunakan entitas tersebut sudah dihapus oleh yang bersangkutan atau tidak ada lagi di media internet setelah berhasil diidentifikasi dan akan dilakukan pemblokiran. Meskipun telah dihapus, jejak fintech ilegal ini tetap bisa ditelusuri oleh kepolisian yang memiliki kemampuan untuk itu.
Beberapa server fintech ilegal juga di luar negeri. Apa upaya mencegah mereka masuk ke Indonesia?
Beberapa waktu lalu, Satgas Waspada Investasi berkoordinasi dengan satu kedutaan besar untuk mencari data fintech peer-to-peer lending ilegal yang servernya ada di negara mereka. Namun, karena minimnya data dan adanya kemungkinan lokasi server tersebut hanya dipindahkan ke luar negeri dengan pelakunya yang berada di Indonesia, penanganannya cukup sulit. Kami meminta agar server tersebut ditutup apabila telah terdeteksi di negara tersebut.
Fintech ilegal memakai ekosistem Google untuk menjangkau pengguna jaringan selular. Apakah mungkin pemerintah dan Google menciptakan sistem deteksi fintech ilegal sebelum masuk ke ekosistem Playstore? Sebab pemerintah memberikan data fintech legal ke Google sebagai acuan saat mengizinkan aplikasi di Playstore...
Ide tersebut sudah kami bahas dengan Google Indonesia, namun Google mempunyai kebijakan untuk tidak melarang inovasi, dan semua pihak bisa mengunggah aplikasi, kecuali aplikasi itu melanggar ketentuan Google Play Store di antaranya pornografi, virus, dan lain-lain. Perlu dipikirkan membuat aplikasi yang bisa mendeteksi secara dini munculnya aplikasi fintech ilegal, sehingga bisa langsung terblokir sebelum ada masyarakat yang mengunduh. Kami tetap bekerja sama dengan Google dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan monitoring aplikasi fintech ilegal ini untuk dilakukan pemblokiran.
Benarkah ada fintech tadinya ilegal jadi legal?
Kami tidak punya datanya. Pada dasarnya apabila perusahaan ingin melakukan kegiatan usaha di bidang peer-to-peer lending, sepanjang memenuhi ketentuan, perusahaan tersebut bisa melakukan kegiatan usahanya setelah terdaftar atau berizin dari OJK. Fintech ilegal masuk daftar hitam sehingga tidak akan mendapatkan izin, karena sudah melanggar ketentuan.
Apa yang paling bahaya dari fintech ilegal: pencucian uang, penyalahgunaan data dan identitas nasabah, atau penggunaan pinjaman untuk pendanaan terorisme?
Semuanya bahaya. Tentu tidak dapat dikesampingkan pentingnya pengendalian pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan perlindungan konsumen. Tindakan fintech ilegal ini tidak memenuhi ketentuan, sehingga rentan merugikan banyak pihak. Dalam kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, aliran dananya tak diketahui karena tidak ada screening dan laporan kegiatan dari entitas itu.
Selain itu, konsumen dirugikan karena datanya sering disalahgunakan. Oleh karena itu keberadaan fintech ilegal ini harus kita atasi terutama dengan peran serta masyarakat untuk tidak meminjam dari fintech ilegal. Dengan demikian mereka tidak mendapatkan nasabah dan dengan sendirinya akan tutup. (investigasi)